Senin, 27 Juli 2009

CIVIL SOCIETY DAN PENDIDIKAN KITA

CIVIL SOCIETY DAN PENDIDIKAN KITA
Oleh : Tongato*

Wacana civil society mengemuka saat-saat akhir pemerintahan Orde Baru. Kemunculannya dimaksudkan bukanlah untuk merebut kekuasaan, akan tetapi untuk memberdayakan masyarakat agar menyadari akan kepentingan umum tanpa harus merugikan kepentingan pribadi. Pemberdayaan ini dilakukan oleh masyarakat itu sendiri bukan dilakukan oleh negara. Filosofinya adalah bahwa kepentingan masyarakat itu haruslah diperjuangkan oleh masyarakat itu sendiri. Sebab, siapa yang akan peduli dengan kepentingan masyarakat tanpa masyarakat peduli dengan dirinya sendiri. Negara sudah terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Selain itu, negara yang dikelola oleh para pejabat tentunya tak mungkin tidak mempunyai kepentingan dirinya sendiri.
Hal yang patut pula dicatat adalah bahwa warga civil society adalah warga masyarakat yang patuh pada hukum. Mereka amat peka terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh negara sebagai manifestasi dari kepatuhannya terhadap hukum. Warga civil society membagun organisasi-organisasi secara sukarela dan atas kesadaran dirinya sendiri. Kesadaran berorganisasi ini akan memudahkan masyarakat sendiri dalam memperjuangkan kepentingannya.
Para ahli kemasyarakatan sepakat bahwa civil society merupakan syarat terbentuknya negara demokratis. Tiada negara demokrasi tanpa adanya civil society. Sebab dalam civil society, warga masyarakat akan selalu mengawasi gerak dan tingkah laku kekuasaan pemerintah. Asumsinya adalah bahwa kekuasaan bisa menjadi otoriter bila tak ada kontrol dari masyarakat.
Pendidikan sebagai wahana mentranformasikan nilai-nilai dalam masyarakat kepada peserta didik nampaknya perlu menengok akan pentingnya civil society. Ini bila kita sebagai bangsa sepakat bahwa kita akan membangun demokrasi Indonesia yang berkualitas di masa datang. Peserta didik sebagai warga masyarakat yang akan terlibat aktif membangun bangsa di masa datang tentunya amat perlu mengenal berbagai aspek civil society ini. Pemahaman yang memadai tentang civil society akan membawa harapan kehidupan demokrasi di negeri ini, disamping juga akan bisa mencegah lahirnya pemimpin-pemimpin otoriter di waktu-waktu mendatang.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan ketika kita (baca: guru) akan mentranformasikan nilai-nilai civil society kepada peserta didik. Pertama, transformasi nilai-nilai civil society itu tidak memerlukan pelajaran tersendiri. Nilai-nilai civil society bisa diaktualisasikan dalam cara mengajar guru. Berilah pemahaman kepada peserta didik bahwa mereka mempunyai kepentingan pribadi yang harus diperjuangkan dalam menuntut ilmu di sekolah. Guru hanyalah sebagai fasilitator, mediator dan motivator pendidikan yang menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan persepsi kepentingannya. Manakala persepsi kepentingan guru tidak sesuai dengan kepentingan peserta didik, maka peserta didik harus cepat-cepat memberikan reaksi dengan mengemukakan akan kepentingannya menuntut ilmu.
Kedua, karena civil society memerlukan kehadiran banyak organisasi, maka sekolah harus memberikan kebebasan peserta didik untuk mendirikan organisasi-organisasi secara independen. Selama ini sekolah hanya mengakui Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sebagai satu-satunya organisasi yang resmi diakui sekolah. Dinamika OSIS juga lebih banyak sebagai kepanjangan tangan kepala sekolah/guru daripada memperjuangkan kepentingan peserta didik. Akibatnya, hampir dirasakan kehadiran OSIS hanya sekedar “ada” tanpa mempunyai roh. Bila pun OSIS hanya satu dalam satu sekolah maka hendaknya diubah kedudukkannya menjadi semacam federasi. Ini akan memberikan kebebasan peserta didik dalam mengaktualisasikan diri dalam berorganisasi.
Ketiga, kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya harus menyadari akan pentingnya penguatan civil society di sekolah. Tidak ada satupun negara demokratis di dunia yang mengabaikan hadirnya civil society di dalamnya. Hal ini tentunya memerlukan perubahan paradigma lama bahwa kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya adalah “superman”, orang yang serba tahu dan serba benar, sedangkan peserta didik tidak tahu apa-apa. Paradigmanya seharusnya adalah bahwa kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya adalah sekedar fasilitator, mediator dan motivator pendidikan, sedangkan peserta didik adalah insan-insan yang mempunyai semangat tinggi untuk mengetahui dan berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.
Akhirnya, jika ketiga hal tersebut di atas menjadi perhatian dan kesadaran para pendidik maka kita sebagai bangsa boleh berharap bahwa akan lahir kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Dan kehidupan demokratis itu akan melahirkan kreatifitas warga masyarakat sebagai prasyarat kemajuan bangsa.***

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMU YPKP DKI Jakarta

Alamat : SMU YPKP DKI Jakarta
Jl. Raya PKP
Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur
Telp. 8720627
E-mail: onk_tongato@yahoo.com
Bank Mandiri Cab. Cimanggis No. Rekening 129-0093058333

Tidak ada komentar:

Posting Komentar