Senin, 27 Juli 2009

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMI 2002-2003
STRUKTUR POLITIK, ELIT POLITIK DAN POLITIK PERTANIAN DI PEDESAAN

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
Dosen : Dr. Iberamsyah
Oleh : Tongato
NPM : 0101186002
PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NASIONAL
Jakarta, 23 November 2002

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
A. ANALISA STRUKTUR POLITIK DESA DAN KELURAHAN
Struktur politik desa dan kelurahan merupakan struktur politik paling rendah dalam bangunan politik nasional. Meskipun demikian, struktur politik desa dan kelurahan mempunyai peran penting dalam bangunan struktur politik nasional. Sebab, disitulah kehidupan politik riil ada dengan segala dinamikanya. Berikut ini akan dianalisa struktur politik desa dan kelurahan.
Struktur Politik Desa
Perkataan desa hanya dikenal di pulau Jawa. Ada beberapa penyebutan lain yang merujuk pada pengertian desa, yaitu dusun, kuta, gampong, nagari dan seterusnya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993), desa adalah (1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan; kampung; dusun; (2) udik atau dusun; (3) tempat; tanah; daerah. Pengertian ini berangkat dari kontras pemahaman mengenai kota.1
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 pasal 1, yang disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Pasal 94, Bab XI, UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD), yang secara bersama-sama menyelenggarakan pemerintahan di desa. Pemerintah Desa sebagai eksekutif, yakni menjalankan amanat masyarakat desa yang tertuang dalam Peraturan Desa. Pemerintah Desa dipimpin oleh kepala desa yang telah dipilih secara langsung warga masyarakat desa untuk masa jabatan 8 tahun. Dalam menjalankan roda pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh perangakat desa yang berstatus pegawai negeri, seperti sekretaris desa, kepala-kepala urusan dan kepala lingkungan.
Badan Perwakilan Desa adalah wakil-wakil masyarakat desa yang berada di tiap rukun warga. BPD menjalankan tugas sebagai badan legislatif. Dalam Pedoman Umum Pengaturan Desa, Kepmendagri disebutkan bahwa parlemen desa (BPD) beranggotakan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. Mereka adalah pemuka agama, adat, orsospol, golongan profesi dan unsur pemuka masyarakat lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa BPD ini berhak menyatakan diri sebagai wakil rakyat di daerah rukun ketetanggaannya.
Gambaran seperti ini jelas akan memunculkan masalah yakni ketika ada perbedaan pendapat yang tak bisa dipecahkan tentang suatu masalah. Kepala desa bisa mengatasnamakan rakyat, karena mereka dipilih langsung oleh rakyat, seperti juga BPD. Hal itu dikarenakan angota BPD merupakan wakil rakyat yang dipilih. Dan masalah seperti ini akan diperumit lagi dengan adanya pasal 103 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa BPD bisa “memecat” kepala desa. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan kepala desa sebetulnya belum sepenuhnya otonom.
Struktur Politik Kelurahan
Kalau pengertian desa merujuk pada suatu wilayah di pedalaman/luar kota, maka pengertian kelurahan lebih pada wilayah perkotan. Dalam UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Propinsi Daerah Ibukota Negara Republik Indonesia, Bab V, pasal 24 dan pasal 27 disebutkan bahwa pemerintah kelurahan terdiri dari Pemerintahan Kelurahan dan Dewan Kelurahan.
Pemerintahan Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus pegawai negeri sebagai eksekutif pemerintahan. Dalam tugas sehariu-harinya, lurah dibantu perangkat kelurahan yang juga berstatus pegawai negeri. Lurah diangkat oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini Gubernur. Kedudukan lurah cukup kuat. Ia tak bertanggung-jawab kepada Dewan Kelurahan, tapi kepada atasannya, yaitu camat, bupati/walikota dan gubernur.
Sementara itu, Dewan Kelurahan merupakan badan legislatif. Keanggotaannya adalah wakil-wakil masyarakat yang berada di tiap rukun warga. Fungsi Dewan Kelurahan adalah membantu lurah dalam menampung aspirasi warga, memberikan usul dan saran kepada lurah, menjelaskan kebijakan pemerintah, membantu dalam hal pemberdayaan masyarakat, termasuk juga mengajukan anggota dewan kota/kabupaten.2
Kedudukan Dewan Kelurahan dan Pemerintahan Kelurahan yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, lurah sebagai pegawai negeri, kedudukannya sangat kuat. Lurah bisa saja mengabaikan begitu saja saran atau usul Dewan Kelurahan terhadap suatu masalah yang kiranya akan merugikan kepentingannya. Ia tidak takut untuk “dipecat” karena ia berpedoman pada kepatuhan sebagai pegawai negeri yang harus tunduk kepada atasannya. Selain itu juga, Dewan Kelurahan tidak mempunyai kekuatan politik apa-apa seandainya saran atau usul kurang/tidak diperehatikan lurah. Dengan demikian, lurah sebetulnya berkedudukan sebagai perpanjangan tangan pemerintah di atasnya, ia tak harus tunduk pada dewan Kelurahan.
Sementara itu, tumbuh kesan bahwa keberadaan Dewan Kelurahan hanyalah sebagai “tempelan” saja. Dewan Kelurahan ada, namun tak mempunyai kekuatan politik dalm ikut menentukan jalannya pemerintahan kelurahan. Disisi lain, Dewan Kelurahan juga lemah kedudukannya karena tidak bisa menentukan anggaran pembangunan. Masalah anggaran sepenuhnya berada di tangan lurah. Pengawasan terhadap lurah dalam maslah anggaran juga tak bisa dilakukan. Sebab lurah hanya bisa bertanggung jawab kepada atasannya, bukan kepada Dewan Kelurahan. Dengan demikian, hadirnya Dewan Kelurahan yang dimaksudkan untuk kemandirian dan partisipasi masyarakat di era otonomi ini belum tercapai secara maksimal.
B. ANALISA PERANAN ELITE FORMAL DAN INFORMAL DESA
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993) kata elite mempunyai dua pengertian, yaitu (1) orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok; (2) kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi. Kelompok-kelompok elit ini sifatnya sangat heterogen.3 Mereka terdapat dalam komunitas agama, politik, ekonomi, adat, dan sebagainya. Kedudukan mereka sebagai ekit bisa berubah sesuai dengan situasi dan dengan siapa mereka mengadakan interaksi. Pola interaksi, akomodasi, konflik dan lain sebagainya.4
Kelompok elit dalam masyarakat berperan menjalankan semua fungsi politik , memonopoli kekuasaan dan menarik keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan yang dipegangnya.5 Mereka ini ada yang berstatus elit formal maupun elit informal. Dalam konteks pedesaan, elit formal adalah para elit yang mempunyai kedudukan resmi dalam struktur pemerintahan desa, seperti kepala desa, kepala hansip, ketua RW dan ketua RT. Sedangkan elite informal adalah mereka yang mempunyai pengaruh yang diakui sebagai pemimpin oleh sebuah kelompok tertentu maupun oleh masyarakat desa seluruhnya meskipun tidak menduduki posisi resmi dalam pemerintahan desa.6 Mereka itu bisa kyai, guru, militer, orang kaya dan sebagainya. Dalam tulisan ini, penulis hanya akan menganalisis peranan kepala desa sebagai elit formal dan kyai sebagai elit informal di pedesaan sebagai contoh.
Peranan Kepala Desa
Peranan kepala desa dalam struktur masyarakat desa sangat besar. Hal ini karena kebanyakan desa-desa di Indonesia masyarakatnya masih bercorak paternalistik. Oleh karena itu apa yang dianggap baik dan benar, yang dianjurkan, yang dikatakan dan dilakukan oleh kepala desa merupakan pedoman dan contih langsung bagi “anak buahnya” untuk melakukan tindakan yang sama.7
Seorang kepala desa, mempunyai kekuasaan dan wewenang yang besar untuk mengatur rakyatnya. Kepala desa adalah patron bagi masyarakat desa. Agar kepala desa mampu mempertahankan kekuasaan dan wewenangnya, ia selau mencari kekuatan legitimasi kedudukannya dengan cara mengaitkan dirinya secara geneologis dengan pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam kasus pengaitan geneologis ini juga dilakukan dengan nenek moyangnya yang pernah menjadi kepala desa dahulu.8
Pengaitan secara geneologis ini dimaksudkan untuk memperkuat perannya dalam memegang kekuasaan dan wewenang. Sebab tanpa legitimasi tersebut, maka perannya sebagai pemimpin tertinggi desa akan hilang.
Selain dengan mengaitkan secara geneologis, kepala desa sejak tahun 1950-an juga memanfaatkan berbagai kekuatan sosial politik , seperti partai plitik. Semasa Orde Baru, demi tegaknya legitimasi kedudukannya, para kepala desa mengidentifikasikan dirinya dengan Golongan Karya (Golkar). Oleh karena itu, tak aneh bila Golkar memperoleh kemenangan di hampir seluruh desa di Indonesia. Mereka mempunyai target kemenangan bagi Golkar di desanya.9 Ini nampaknya sebagai imbalan atas keterkaitannya dengan Golkar yang telah memperkuat kedudukannya dalam kekuasaan.
Dalam proses pembangunan desa, peran kepala desa juga sangat besar. Menurut pengamatan Hofsteede (1992) terhadap peran kepala desa di 4 desa di Jawa Barat membuktikan hal itu. Para kepala desa yang diteliti menunjukkan bahwa mereka sebagai pengambil prakarsa dalam suatu proyek pembangunan. Mereka mendiskusikan dan seterusnya merapatkan dalam rapat desa untuk mengambil keputusan pelaksanaan suatu proyek.
Ada beberapa faktor yang menyebabakan peran kepala desa demikian besar, yaitu pertama, kepala desa dokebanyakan desa mempunyai wewenang yang betul-betul nyata. Mereka bagaikan raja-raja kecil di desanya. Hal itu ditambah sikap masyarakat yang bersifat patenalistik.
Kedua, kepala desa mempunyai posisi yang kuat sebagai wakil pemerintah di desa. Hal ini karena bupatilah yang membuat keputusan akhir dan memberi surat pengangkatannya, meskipun kepala desa dipilih oleh rakyat secara langsung.10
Peranan Kyai
Kyai merupakan sebutan yang diberikan masyarakat terhadap seseorang yang menguasai dan mempraktekkan ajaran agama Islam secara ketat. Kyai sebagai tokoh informal juga mempunyai peran yang sangat besar.
Peran utama kyai adalah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam memberikan fatwa agama tentang masalah keyakinan dan praktik keislaman masyarakat. Otoritas ini diperkuat dengan adanya masyarakat yang paternalistik dan hubungan antarkyai.11 Di desa-desa Jawa, para kyai mempunyai hubungan kuat dengan organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini merupakan sarana mempromosikan kyai dalam kepemimpinan lokal bahkan nasional.
Selain itu, hubungan antarkayai yang biasanya tergabung dalam organisasi NU, para kyai dalam usaha menambah klaim kekuasaan dan wewenangnya adalah jamaah Islam. Semakin besar jumlah jamaah yang berada di belakangnya, maka semakin berpengaruhlah kyai tersebut.12
C. ANALISA POLITIK PERTANIAN DI DESA
Politik pertanian merupakan kebijakan pemerintah untuk memperlancar dan mempercepat laju pembangunan pertanian. Ada dua metode dalam mempelajari politik pertanian,13 yaitu pertama, melalui analisa teknik ekonomi. Melalui teknik ini, kita dapat mempergunakan berbagai teori ekonomi untuk merumuskan politik pertanian, melaksanakan dan menilainya. Alat penilai yang paling sering dipakai dalam hal ini adalah analisis benefit-cost yang mudah dilakukan untuk memulai berbagai proyek-proyek investasi.
Kedua, melalui analisis kelembagaan. Artinya, politik pertanian yang menyangkut kerangka kelembagaan dengan mana alokasi sumber daya terjadi dan diusahakan. Dalam definisi Tinbergen, politik pertanian macam ini termasuk politik pertanian kualitatif. Hal ini dikarenakan menyangkut perubahan lembaga.
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan mempergunakan analisis kelembagaan yang diterapkan terhadap politik beras sebagai salah satu bagian dari politik pertanian. Pemerintah melihat bahwa masalah perberasan merupakan masalah yang sangat vital. Hal ini karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Jika masalah beras ini tak dikelola secara baik, bisa saja hal itu menjadi isu politik yang mampu menggiyahkan sendi kekuasaan pemerintah.
Melihat begitu pentingnya masalah perberasan, maka pemerintah mendirikan Badan Urusan Logistik (BULOG) tahun 1969 yang mempunyai tugas utama melaksanakan politik beras.14 Sasaran utama Bulog adalah mempertahankan harga maksimum dan minimum beras/padi, baik secara langsung melaui pembelian dan penjualan di pasar pedesaan dan pasar bebas maupun melaui kebijakan stok beras.
Setelah mengeluarkan kebijakan mempertahankan harga maksimum dan minimum, pemerintah kemudian meletakkan kebijakan harga penyangga (support price) untuk memberikan perangsang pada petani padi. Hal ini dicapai antara lain dengan apa yang dikenal dengan rumus tani, yaitu satu kilogram pupuk ures dijual pemerintah kepada petani dengan harga yang sama dengan satu kilogram beras. Kebijakan ini ditanggapi positif para petani sehingga pada pertengahan tahun 1972 pemerintah bahkan merasa khawatir akan terjadi kelebihan produksi dan mengusulkan penurunan terget produksi.
Kekhawatiran tersebut di atas ternyata tak terbukti, karena pada tahun yang sama terjadi kegagalan panen akibat kemarau panjang. Meskipun demikian, kebijakan peningkatan produksi beras lebih dikenal dengan Bimas (bimbingan massal) tetap berhasil meningkatkan produksi beras rata-rata 4,7% per tahun dalam Pelita I, walaupun harus diakui tidak sampai pada terjadinya swasembada beras.
Tidak tercapainya swasembada beras pada akhir Pelita I menyebabkan pemerintah meninjau kembali kebijakan berasnya. Saat itu pemerintah mengimpor beras (hampir 30% dari seluruh beras yang dipasarkan di pasaran dunia). Keadaan ini membuat pemerintah mengadakan perubahan kebijakn pada Pelita II. Sasrannya bukan lagi pada swasembada beras, akan tetapi swasembada pangan, yaitu dengan terutama berusaha mencapai terget pemenuhan kalori dan protein yang dapat dipenuhi dari berbagai bahan pangan seperti jagung, ketela, sagu dan tanaman kacang-kacangan. Disini titik tekan kebijakan pemerintah bukan lagi pada beras, tapi bahan pangan pokok secara keseluruhan.
Kebijakan tersebut didasrkan pada realitas bahwa sebagian penduduk Indonesia makanan pokoknya ada yang non beras. Selain itun juga adanya potensi pangan yang besar di luar beras.15 Contohnya, Irian Jaya dan Maluku yang penduduk aslinya menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Daerah-daerah ini memang sangat cocok untuk tanaman sagu. Jadi dsini yang penting adalah pemenuhan kalori yang dapat dipenuhi oleh makanan pokok selain beras. Masalahnya adalah di beberapa daerah yang makanan pokoknya non beras malah sulit memperoleh bahan makanan tersebut dibanding dengan beras. Selain itu sudah tercipta imej dalam masyarakat Indonesia bahwa makan beras identik dengan kemajuan. Masyarakat yang makanan pokoknya non beras dianggap sebagai masyarakat yang ketinggalan.***

Daftar Pustaka

Hofsteede, W.M.F., Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992

Latief, M. Syahbudin, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa. Yogyakarta: Media Pressindo, 2000

Mas’oed, Mohtar & Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991

Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1987

Nurhadi, Robi, “Desaku Sayang, Kelurahanku,” makalah diskusi Program Pascasarjana Ilmu Politik UNAS, 2002

Prisma No. 10, Oktober 1982

Suhartono dkk., Politik Lokal, Yogyakarta: Lapera, 2001

Tjiptoherijanto, Prijono dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan & LPFE UI, 1983

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999

Syamsuddin, Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI & PPW LIPI, 1998

Tholkhah, Imam, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2001

















1 Suhartono dkk. Politik Lokal. Yogyakarta: Lapera, 2001 h 9
2 Robi Nurhadi, “Desaku Sayang, Kelurahamku Malang” makalah presentasi di depan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNAS.
3 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999 h. 76
4 M Masyhur Amin, “Kedudukan Kelompok Elit dalam Perspektif Sejarah,” dalam M Mashur Amin et al. Kelompok Elit Dan Hubungan Sosial di Pedesaan. Jalarta: YIIS, 1988 h. 12
5 Gaetamo Mosca seperti dikutuip Robert D. Putman,”Studi Perbandingan Elit Politik,” dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, l991 h. 77.
6 W.M.F. Hofsteede, Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992 h. 47 – 48.
7 M Syahbudin Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, Yogyakarta: Media Pressindo, 2000 h. 19
8 Ibid h. 13 – 14.
9 Syamsuddin Haris, (ed.) Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI & PPW LIPI, 1998 h 166 – 167.
10 Prijono Tjiptoherijanto & Yumiko M. Prijono. Demokrasi di Pedesaan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan & LPFE UI, 1983 h. 91.
11 Imam Tholkhah, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, h. 78.
12 Ibid h. 78 – 79.
13 Mubyarto, Politik Pertanian & Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1987 h. 69 – 70.
14 Uraian tentang politik beras dengan segala aspeknya dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari Mubyarto, op cit hal. 72 – 78.
15 M. Satari, “ Produksi Beras Masih Salah Arah,” dalam Prisma No. 10, Oktober 1982 h. 59 – 61.

CIVIL SOCIETY DAN PENDIDIKAN KITA

CIVIL SOCIETY DAN PENDIDIKAN KITA
Oleh : Tongato*

Wacana civil society mengemuka saat-saat akhir pemerintahan Orde Baru. Kemunculannya dimaksudkan bukanlah untuk merebut kekuasaan, akan tetapi untuk memberdayakan masyarakat agar menyadari akan kepentingan umum tanpa harus merugikan kepentingan pribadi. Pemberdayaan ini dilakukan oleh masyarakat itu sendiri bukan dilakukan oleh negara. Filosofinya adalah bahwa kepentingan masyarakat itu haruslah diperjuangkan oleh masyarakat itu sendiri. Sebab, siapa yang akan peduli dengan kepentingan masyarakat tanpa masyarakat peduli dengan dirinya sendiri. Negara sudah terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Selain itu, negara yang dikelola oleh para pejabat tentunya tak mungkin tidak mempunyai kepentingan dirinya sendiri.
Hal yang patut pula dicatat adalah bahwa warga civil society adalah warga masyarakat yang patuh pada hukum. Mereka amat peka terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh negara sebagai manifestasi dari kepatuhannya terhadap hukum. Warga civil society membagun organisasi-organisasi secara sukarela dan atas kesadaran dirinya sendiri. Kesadaran berorganisasi ini akan memudahkan masyarakat sendiri dalam memperjuangkan kepentingannya.
Para ahli kemasyarakatan sepakat bahwa civil society merupakan syarat terbentuknya negara demokratis. Tiada negara demokrasi tanpa adanya civil society. Sebab dalam civil society, warga masyarakat akan selalu mengawasi gerak dan tingkah laku kekuasaan pemerintah. Asumsinya adalah bahwa kekuasaan bisa menjadi otoriter bila tak ada kontrol dari masyarakat.
Pendidikan sebagai wahana mentranformasikan nilai-nilai dalam masyarakat kepada peserta didik nampaknya perlu menengok akan pentingnya civil society. Ini bila kita sebagai bangsa sepakat bahwa kita akan membangun demokrasi Indonesia yang berkualitas di masa datang. Peserta didik sebagai warga masyarakat yang akan terlibat aktif membangun bangsa di masa datang tentunya amat perlu mengenal berbagai aspek civil society ini. Pemahaman yang memadai tentang civil society akan membawa harapan kehidupan demokrasi di negeri ini, disamping juga akan bisa mencegah lahirnya pemimpin-pemimpin otoriter di waktu-waktu mendatang.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan ketika kita (baca: guru) akan mentranformasikan nilai-nilai civil society kepada peserta didik. Pertama, transformasi nilai-nilai civil society itu tidak memerlukan pelajaran tersendiri. Nilai-nilai civil society bisa diaktualisasikan dalam cara mengajar guru. Berilah pemahaman kepada peserta didik bahwa mereka mempunyai kepentingan pribadi yang harus diperjuangkan dalam menuntut ilmu di sekolah. Guru hanyalah sebagai fasilitator, mediator dan motivator pendidikan yang menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan persepsi kepentingannya. Manakala persepsi kepentingan guru tidak sesuai dengan kepentingan peserta didik, maka peserta didik harus cepat-cepat memberikan reaksi dengan mengemukakan akan kepentingannya menuntut ilmu.
Kedua, karena civil society memerlukan kehadiran banyak organisasi, maka sekolah harus memberikan kebebasan peserta didik untuk mendirikan organisasi-organisasi secara independen. Selama ini sekolah hanya mengakui Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sebagai satu-satunya organisasi yang resmi diakui sekolah. Dinamika OSIS juga lebih banyak sebagai kepanjangan tangan kepala sekolah/guru daripada memperjuangkan kepentingan peserta didik. Akibatnya, hampir dirasakan kehadiran OSIS hanya sekedar “ada” tanpa mempunyai roh. Bila pun OSIS hanya satu dalam satu sekolah maka hendaknya diubah kedudukkannya menjadi semacam federasi. Ini akan memberikan kebebasan peserta didik dalam mengaktualisasikan diri dalam berorganisasi.
Ketiga, kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya harus menyadari akan pentingnya penguatan civil society di sekolah. Tidak ada satupun negara demokratis di dunia yang mengabaikan hadirnya civil society di dalamnya. Hal ini tentunya memerlukan perubahan paradigma lama bahwa kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya adalah “superman”, orang yang serba tahu dan serba benar, sedangkan peserta didik tidak tahu apa-apa. Paradigmanya seharusnya adalah bahwa kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya adalah sekedar fasilitator, mediator dan motivator pendidikan, sedangkan peserta didik adalah insan-insan yang mempunyai semangat tinggi untuk mengetahui dan berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.
Akhirnya, jika ketiga hal tersebut di atas menjadi perhatian dan kesadaran para pendidik maka kita sebagai bangsa boleh berharap bahwa akan lahir kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Dan kehidupan demokratis itu akan melahirkan kreatifitas warga masyarakat sebagai prasyarat kemajuan bangsa.***

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMU YPKP DKI Jakarta

Alamat : SMU YPKP DKI Jakarta
Jl. Raya PKP
Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur
Telp. 8720627
E-mail: onk_tongato@yahoo.com
Bank Mandiri Cab. Cimanggis No. Rekening 129-0093058333

NOVEL TUNAS PATAH

Novel : TUNAS PATAH
Oleh : Tongato M. atmowinoto
Tanggal Penyimpanan : Selasa, 10 Maret 2009 pukul 10.00


PERTAMA
Kelelahan fisik nampak menyelimuti pandangan mereka walaupun tak sampai memadamkan api semangat yang berkobar kobar yang dibakar idealisme. Kereta yang menuju pusat kebudayaan Jawa lamban jalannya seperti enggan meninggalkan kota metropolitan. Enggan meninggalkan Jakarta dengan kesorgaan dan kemesuman serta kemurnian jiwa manusia. Lampu lampu mercuri di pinggiran jalan yang berseliweran nampak kecut raut mukanya. Debu debu melekat dan kepengapan menyaputnya.
Sementara itu, lampu lampu yang dipancarkan hotel hotel tinggi bagai kerlap kerlip kunang di pundak gunung. Warnanya kebiruan mengandung hasrat untuk menikmatinya. Berbagai pesona lampu iklan bersaing seperti manusia yang memasangnya. Masing masing ingin sebanyak mungkin menarik perhatian orang yang melihatnya.
Kereta terus melaju dengan perlahan sepertinya ingin memperlihatkan kepada para penumpangnya bahwa di pinggir pinggir rel terdapat kehidupan kontras dengan pemandangan di kejauhan mata memandang. Lampu teplok dan sentir tertiup angin meliuk bagai pohon cemara. Sungguh eksotis. Sebuah kemelaratan yang indah mempertunjukan diri di panggung metropolitan.
Perempuan kecil penuh borok menggapai ibunya yang sedang terpekur. Wajahnya hitam pekat di sabut senja itu.Giginya kecoklatan nampak dari mulutnya yang terengah engah menyemburkan bau amis.
Gubuk gubuk di pinggiran kali merebak bagaikan sarang sarang hantu yang sunggguh menakutkan para petinggi pemerintah. Memanjang sepanjang kali yang airnya kehitam hitaman. Sesekali ikan sapu sapu menyibak membentuk lingkaran gelombang. Lingkaran lingkaran gelombang ikan sapu sapu awalnya kecil melebar dan melebar dan akhirnya saling bertubrukan. Kemudian disusul gelombang gelombang baru dan seterusnya tiada henti. Suatu gambaran kehidupan yang sering kita temui di hadapan kita. Sering orang menciptakan lingkaran. Lingkaran vested of interest untuk saudara dan teman teoannya untuk kemudian akan bertabrakan dengan lingkaran lingkaran yang dibuat orang lain. Dan tak terelakkan tabrakan terjadi. Dan orang akan segera melupakan tabarakan itu untuk membentuk lingkaran baru dengan semangat baru pula.
Kini ada suatu lingkaran rapuh yang selalu dilindas lingkaran yang lebih besar gelombangnya dengan persemaian yang selalu dipupuk dengan dendam dendam kesumat yang tiada habis habisnya. Ideologi terlarang. Idiologi terlarang yang pernah ada dan hidup di negara ini. Yang bagaikan raksasa yang dengan rakusnya membunuhi anak keturunannya entah sampai kapan.
Rahman sibuk dengan pikiran pikiran seperti itu. Sementara itu, teman temannya asyik dengan pemandangan pemandanganyang dilihatnya sepanjang rel kereta api. Kepenatan mereka tidak menghalangi dirinya untuk terlibat dalam setiap situasi yang hadir dihadapannya.
Mereka terdiam. Mereka asyik dengan pikirannya yang merupakan reaksi dari apa yang selalu menjadi perdebatan dalam dirinya. Perdebatan yang selalu bergolak untuk mencari titik titik temu yang selalu menjadi idealisasinya. Suatu keinginan yang wajar untuk membentuk dunia baru yang penuh dengan egaliter, persamaan yang adil dengan dipayungi hati nurani manusia yang murni, tanpa vested of interest. Walaupun akan terbentuk lingkaran, tapi lingkaran itu bukan untuk saling menghancurkan. Laksana lingkaran yang terbentuk sehabis gerimis dan menyembul sinar matahari tipis di senja hari. Pelangi. Ya, pelangi. Suatu lingkaran penuh warna kedamaian.
Kereta senja Ekonomi memacu kecepatannya. Lokomotifnya yang kemerahan dipadu dengan warna biru tua yang dibaluti debu asap menghitam. Nampak berdiri tegar seorang masinis berseragam abu abu yang nampak suram di udara senja menjelang malam terlindung kaca penahan angin. Sesekali ia menekan klakson di persimpangan jalan yang memotong rel dan di tikungan seolah olah mengucapkan selamat tinggal metropolitan. Suaranya menggemuruh di tingkah bunyi tek tek tek, yang ditimbulkan persambungan rel. Loko menghela sepuluh gerbong, gerbong kelas ekonomi dan sebuah gerbang dapur serta gerbong barang yang berwarna berubutan biru, merah dan perak kusam.
Rombongan Rahman terdiri dua orang pengurus organisasi mahasisiwa Islam terbesar cabang Yogyakarta dan satu pengurus Badko Jawa bagian Tengah. Kelelahan menampak di wajah wajah mereka setelah hampir satu minggu berkonggres, walaupun tidak dirasakan. Mereka menempati gerbang urutan kelima yang berwarna merah agak kusam. Rahman duduk di bangku yang membelakangi laju kereta bersama Karlan. Sementara Raharjo dan Edi, pengurus Badko duduk di hadapannya, searah laju kereta. Mereka duduk di sebelah kanan lorong kereta.
Rahman mahasiswa fisipol universitas tertua di Jawa, sedangkan Karlan mahasiswa fakultas ekonomi di universitas yang sama. Raharjo dan Edi, keduanya mahasiswa fakultas hukum Universitas Islam terkemuka. Mereka di pertemukan dalam organisasi Islam terbesar Indonesia. Mereka sama sama aktif sehingga menjadi pengurus teras si cabang Yogyakarta.
Kereta terus saja menembus pekatnya malam. Para penjaja makanan hilir mudik menawarkan makanan jajanannya. Tanpa bosan bosannya mereka mempromosikan dagangannya dengan suara parau dan sruktur bahasa yang tetap. Pendek pendek kata katanya dan langsung menyebut nama barangnya. Tanpa ekspresi dan nada persuasi layaknya mempromosikan barang dagangannya. Mungkin mereka menggunakan bahasa yang sama dengan para pedang pendahulunya.Mungkin pula keterbatasan kosa kata yang dimiliki seterbatas pola pikir dan kebutuhan hidupnya.
Kereta yang penuh sesak tak mengganggu sedikitpun para penjaja makanan. Mereka berjalan di sela sela penumpang yang duduk di lantai lorong gerbang. Sesekali bakul tempat barang dagangannya mengenai jidat penumpang. Keluhan penumpang yang duduk di lantai sering terdengar. Namun tetap saja para pedagang itu hilir mudik menginjak sela sela lantai yang kosong.
“Bangsat, lu! Nich, lu injak!” suara seorang bapak setengah baya melengking sambil menunjuk tengkuknya untuk diinjak seorang penjaja makanan. Suara itu segera saja menjadi pusat perhatian penumpang di sekitarnya, termasuk Rahman dan kawan-kawannya. Rupanya bapak itu marah karena kakinya diinjak seorang penjaja. Sementara penjaja makanan itu, tanpa acuh lewat begitu saja dengan meninggalkan cap kaki yang berdaki di celana bapak itu.
“Maaf, Pak! Permisi!” pinta pedagang yang lain, setelah mengetahui pedagang di depannya telah berbuat kesalahan.
“Permisi, ya, permisi. Tapi jangan permisi menginjak, dong!” gerutu bapak setengah baya itu. Penumpang disekelilingnya hanya senyum.
“Masih bagus itulah, Pak! Masih mau bilang,” Rahman menyeletuk sambil mengembangkan senyum. Bapak setengah baya itu hanya diam. Tak memberikan reaksi apapun untuk kemudian melanjutkan kantuknya yang sudah mulai menggelayut.
Kereta terus saja menderu, menembus gelap dengan menyibak malam dan sinarnya. Berpadu dengan kilatan sinar yang sesekali menyembul di kejauhan. Warnanya merah kekuningan ditingkah sinar redup rembulan dan kerlip bintang.
Para penumpang yang tak berkarcis tempat duduk sudah mulai menggelar koran dilorong lorong tempat duduk untuk merebahkan tubuhnya. Sebagian juga ada yang menahan kantuk dan duduk menunduk menyandarkan kepalanya pada lututnya. bagaikan udang goreng. Penjaja makanan sudah mulai berkurang. Mereka turun di stasiun pemberhatian.
“Inilah fakta. Fakta bahwa dalam peradaban manusia, rakyat kecil selalu jadi yang peling menderita. Bandingkan, penumpang kereta yang di kelas eksekutif. Mereka dengan nyaman duduk sambil menikmati hidangan. Mau tidur tinggal atur kursi sesuai dengan kehendaknya. Lain dengan rakyat kecil. Harga diri adalah urutan yang kesekian puluh, dalam kamus hidupnya. Mereka yang berkereta kelas eksekutif apakah lebih pintar daripada penumpang yang tidur di lorong tempat duduk kereta kelas ekonomi? Tidak, mereka sama saja pintarnya, saya yakin itu. Hanya srtukturlah yang membuat diskriminasi itu.” ujar Rahman membuka percakapan.
“Tak sepenuhnya benar mereka dikalahkan oleh struktur masyarakat. Menurutku, mereka juga dari sononya memang begitu. Mentalitas mereka yang memang tak untuk beruntung dalam kehidupan ini.” timpal Karlan.
“Pandangan itu betul semua. Satu dengan yang lain tak mungkin dipisahkan. Karena saling berkaitan dan saling membutuhkan dalam bangunan masyarakat. Mentalitas bagus, tapi struktur tak menghendaki mereka maju, mau apa? Sebaliknya, struktur membuka kesempatan lebar untuk mereka maju, tapi mentalitas mereka rendah. Maka apakah gunanya. Keduanya penting. Yang lebih penting adalah bagaimana membuat keduanya dalam keadaan maksimal dalam bersenergi. Tak saling menjegal antara keduanya. Dan tentunya yang paling diuntungkan adalah mereka yang mentalitasnya bagus dan strukturnya mendukung.” komentar Raharjo.
“Saya setuju saja pendapatmu, Har. Struktur dan mentalitas itu merupakan hal yang tak bisa dipisahkan. Namun satu hal yang tak kalah penting adalah keberuntungan.Seseorang yang mempunyai mentalitas bagus, punya struktur yang memungkinkan dia maju, tapi kalau tak mempunyai keberuntungan bagaimana mau maju?” sela Edi.
“Tapi satu hal yang jelas dari studi berbagai kasus yang terjadi menunjukkan posisi rakyat kecillah yang selalu lemah atau dilemahkan.” kata Rahman sinis. “Apakah ini karena ketidakberuntungan? Saya tidak tahu persis. Tapi yang jelas, sekali lagi dari berbagai kasus yang terjadi menunjukkan kecenderungan yang kuat posisi rakyat kecil semakin melemah. Nampak sekali rakyat tak mempunyai sharing power untuk jangankan memperjuangkan nasibnya, mempertahankan diri dari tindakan tak adil saja sulitnya bukan main. Padahal kita sudah merdeka lebih dari lima desawarsa,” lanjut Rahman.
“Saya kok tetap pada kecenderungan bahwa mentalitas rakyatlah yang memang tak berkualitas sehingga akan selalu kalah dalam persaingan mencari penghidupan. Mereka tak memiliki etos kerja yang memadai di alam yang penuh persaingan ini.” sergah Karlan mencoba mempertahankan pikirannya.
“Kau pantasnya jadi borjois saja, Lan. Kita lihatlah dalam kehidupan sehari hari. Apakah rakyat kecil kurang bekerja keras, mereka kerja dari pagi sampai petang hanya untuk hidup hari itu. Mereka tak berfikir masa depan memang. Tapi harus tahu bahwa hari depan yang oereka maksudkan adalah hari besok bisa makan atau tidak. Mereka realistis sekali dalam menghadapi kehidupannya. Dan jangan salahkan mereka jika mereka tak bisa bersaing dalam kehidupan ini. Anehnya lagi, kita sering menyaksikan rakyat sering di kompas aparat pemerintah. Mereka tak bisa berbuat apa apa. Dan lebih aneh lagi kita hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa apa. Padahal bangsa kita sudah berumur lebih dari lima desawarsa, dimana usia itu dicapai berkat pengorbanan rakyat kecil. Tapi lucunya, Perlakuan aterhadap mereka justru tak adil sama sekali. Untuk usia ini, mestinya bisa berlaku arif dalam mengelola negara, memperlakukan rakyat secara manusiawi. Merupakan hal yang absurd jika kita harus menunggu seabad lagi untuk bisa memperlakukan rakyat kecil secara manusiawi, lebih sedikit terhormat. Saya pikir, sekarang inilah saatnya untuk restrukturisasi kehidupan bernegara. Bukankah kalau kita perhatikan konstitusi kita banyak bertaburkan idiom idiom kerakyatan ini?” tanya Rahman retoris.
“Ya keadaan ini memang benar adanya. Tapi sebagai bangsa, kita harus positif thingking. Artinya kita tak bisa mengencam sana sini, lalu kita akan capai bersama tanpa sesuatupun yang bermanfaat dalam kehidupan. Kita sebagai bangsa memerlukan kesalahan kesalahan juga dalam berbuat di samping tentunya kebenaran kebenaran dalam pelaksanaan pemerintahan. Ini wajar. Ini sebagai proses belajar sebagai bangsa,” ujar Raharjo meredakan suasana semakin memanas.
Seorang pedagang asongan, seorang anak kira kira berumur anak kelas V SD menjajakan rokok. Rahman memanggilnya untuk membeli sebungkus rokok. Namun bukan hanya sekedar untuk membeli rokok, tapi lebih didasarkanoleh perasaan yang berpihak pada perjuangan seorang anak dalam mencari nafkahnya sendiri di tengah malam. Seorang anak yang seharusnya sedang beristirahat setelah siangnya belajar barangkali, malah harus bergelut mencari sesuap nasi. Pasti anak ini tak sekolah. Bagaiman mau sekolah malam malam begini ia menjajakan dagangannya. Kalaupun ia sekolah bagaiman dengan prestasinya”
“Kembaliannya, Om!” pedagang asongan itu menyodorkan uang tujuh ratus rupiah sebagai pengembalian.
“Untukmu sajalah.” ujar Rahman. Ucapan terima kasih dengan menganggukkan kepalanya disusul dengan teriakan menawarkan barang dagangannya lagi.
“Tapi sebelum mencari penyelesaian yang memuaskan semua pihak kita harus mengetahui akar permasalahannya dan penyebabnya. Mengapa bisa terjadi semacam ini? Faktor apa saja yang menjadi akar penyebabnya? Usaha usaha apa yang berkaitan dengannya.” tanya Rahrjo sambil menyalakan rokoknya.
“Rakyat sering menjadi objek ketidakadilan karena, pertama, pembangunan dijadikan semacam idiologi untuk pembenaran segala masalah. Hal ini bersumber dari faham kapitalistik beku yang tidak memberikan ruang gerak kebebasan bagi rakyat. Toh, pembangunan nantinya untuk rakyat juga. Dalam satu sisi, ada benarnya pendapat ini. Tapi menurutku banyak salahnya. Karena dalam situasi sekarang ini, aparat pemerintah dan orang pentinglainnya tak memberikan kebebasan pada rakyat untuk menentukan jalannya pembangunan. Rakyat hanya pengikut saja. Tak sedikitpun ruang untuk mereka berpartisipasi dalam pembangunan. Sedangkan yang kedua, dengan kondisi seperti ini, aparat pemerintah menganggap dirinya tak bisa salah ataupun disalahkan. Mereka menganggap dirinya selalu benar, rakyatlah yang salah. Sehingga ketika ada kritik dari sebagian masyarakat yang sadar terhadap mereka, aparat biasanya memperlakukan pengkritik dengan seenak udhel dhwe.” papar Rahman.
“Jalan keluarnya menurut keyakinanmu?” tanya Edi.
“Revolusi!” celetuk Rahman.
“Itu inskonstitusional!” sergap Raharjo.
“Eh, gue tahu! Tapi bagaimana, ya?. Kondisi sudah begini parah. Ibarat penyakit kanker. Kanker itu sudah menjalar kemana mana. Ke seluruh tubuh lembaga pemerintahan ini. Jalan satu satunya, ya kita robohkan semua. Semacam revolusi, begitu. Tapi bukan revolusi menyeluruh.” Gdi mananggapi. Rokoknya disedot dalam dalam setelah mengucapkan perkataannya itu. Udara masuk lewat ventilasi. Kereta bergoyang goyang lembut seolah membelai penumpang yang masih kantuk agar segera tidur pulas. Dan yang sudah pulas semakin pulas saja tidurnya.
“Ada jalan yang konstitusional. Perkuat posisi legislatif. Seandainya posisi legislatif kuat tidak seperti sekarang ini posisi legislatif lebih didominasi oleh kekuatan eksekutif maka eksekutif, aparat, pelaksana pemerintahan harus pikir dua tiga kali bila akan mendholimi rakyat.” saran Raharjo.
“Tapi itu menyisakan pertanyaan bagiku. Bagaimana legislatif akan kuat posisinya, kalau mereka sebagian besar para eksekutif banyak yang duduk di lembaga legislatif? Dan harap diingat juga diisi oleh banyak kerabat dari para eksekutif. Orangnya ya, itu itu juga. Dari kalangan, lingkaran mereka mereka juga.” protes Rahman tandas.
“Ini memang butuh waktu untuk membereskan persoalan ini!”
“Ente kayak pejabat aja, Ed.” ejek Rahman. Karlan hanya senyum.
“Lho jangan begitu dong. Persoalan ini memang butuh waktu untuk menyelesaikannya. Dan saya kira tepat kata Raharjo tadi, ini adalah salah satu proses belajar sebagai bangsa. Dan sebagai proses pasti membutuhkan waktu, kan!” balas Edi sengit. “Kita tumbuh seperti sekarang ini juga butuh waktu juga.” lanjutnya. sambil memandang Raharjo seolah minta dukungan.
“Sementara menunggu waktu, berapa banyak lagikah korban korban pembangunan akan berjatuhan. Lagi lagi rakyat kecil juga yang akan menanggung penderitaan.” Rahman berargumen.
“Memang susah menyelesaikan masalah ini. Tapi bukan berarti tidak ada jalan keluar. Jalan keluar selalu ada bagi siapa saja yang mau berusaha dengan sungguh sungguh. Yang terpenting menurutku adalah optimisme dalam memandang setiap permasalahan serumit apapun.” ujar Raharjo seolah menengahi.
Angin dingin menerobos jendela, menyebar ke dalam seluruh ruangan gerbong membawa kesegaran, mengusir asaf rokok yang pekat. Kereta memasuki persawahan selepas Cikampek. Bau lumpur sedap menyapu bau keringat yang berpadu dengan asap rokok. Bau yang mengingatkan otot otot kekar petani yang dengan tekun dan sabar menggarap sawahnya.
Perdebatan tak membuahkan satupun kesimpulan. tapi bukan berarti apa apa. Kesimpulan ada tentunya. Tapi hal itu tidaklah terlalu penting. Yang terpenting adalah adanya exercise dalam proses pemikiran untuk membahas persoalan persoalan sehingga bukan persoalan itu yang terpenting, tapi proses berfikirlah yang perlu dikedepankan. Pisau analisa akan tajam bila selalu di asah dengan persoalan persoalan yang sulit dan dengan sendirinya apabila menemui persoalan lain akan lebih mudah dalam pembahasannya.
Rokok penghabisan puntungnya dilempar Rahman ke keluar melalui ventilasi. Edi sudah berkali kali menguap. Tubuhnya yang paling besar dari ketiga rekannya tak kuat lagi menahan kepalanya. Kantuk merayapi tubuhnya. demikian juga Karlan dan Raharjo. Kesenyapan menyebar, hanya deru angin yang seolah memburu lajunya kereta. Bunyi tek tek persambungan rel semakin nyaring. Penjaja makanan menghilang setelah setasiun Cirebon tadi. Mereka turun. Rahman menyandarkan kepalanya ke jendela kaca, kantuk menyerangnya juga. Semilir angin mengipas ngipas lewat ventilasi menambah berat rasa ngantuknya.



KEDUA

Rumah di jalan Gatotkaca Pringsewu masih sepi. Rumah bernomor 47 bercat putih dengan kusen pintu dan jendela berwarna coklat mengingatkan keanggunan sisa sisa keagungan masa lampaunya. Genteng pres tebal nampak hitam berlumutan. Rumah yang cukup besar diantara rumah rumah disekelilingnya, berhalaman luas bagi ukuran rumah di ibukota propinsi. Tanaman yang tumbuh di halaman kurang begitu terurus, namun masih terkesan anggun. Ada pohon mawar yang tumbuh liar di pojokan taman dengan bunga yang sudah di petik orang yang lewat, karena menjulur ke tepi jalan. Pagar bambu sudah setengah umur dan beberapa bagian dihuni rayap rayap yang membuat semacam terowongan tanah yang dibuatnya.
Memasuki rumah ini kita akan dihadapkan pada gambaran penghuninya yang kuat memegang tradisi kehidupan Jawa. Pintu depan yang kokoh terbuat dari kayu jati pilihan dengan pelitur abadi. Daun pintu tebal dengan warna coklat menambah kesan berat. Di atas daun pintu ukiran daun dengan di tengah tengahnya bunga matahari penuh bersinar.
Di ruang tamu seperangkat kursi tamu berwarna coklat tua memberi kesan wibawa. Gambar Bathara Kresna, raja Dwarawati dan Arjuna, putera tengah Pandawa naik kereta kencana seperti dalam epos Mahabrata berbingkai coklat keemasan mempercantik ruang tamu. Persis di atas meja, lampu gantung dengan kaca putih dibalut perak, disepuh emas mengkilat. Memasuki ruang makan yang terbuka menyambung dengan ruang duduk bersantai nampak satu set kursi makan dari kayu sungkai finishing bleach. Lukisan Pangeran Diponegoro dengan jubah putih nampak gagah menaiki kuda kehitaman. Jam bandul kokoh berwarna gelap berdampingan dengan foto Panglima Besar Jendral Sudirman berdiri di pojok ruangan itu. Rangkaian bunga sepatu warna emas di atas buffet menjadi aksen yang menambah menawan di ruang ini.
Karakter berat dan wibawa namun sederhana berlanjut juga pada tatanan ruang tidur utama. Sebuah tempat tidur kayu sawo beserta dua meja pendamping dengan pola ukiran Jepara yang disederhanakan. Dua pasang lampu duduk mempertegas suasana Jawa kaum priyayi tempo dulu.
Di rumah yang anggun itulah Rahman tinggal bersama kakek neneknya. Sejak umur kira kira lima tahunan Rahman dipungut kakek neneknya, karena kakek neneknya merasa kesepian setelah anak anak sudah menikah dan pindah rumah menyebar di beberapa kota di Jawa dan sebagian ada yang luar Jawa. Semua anak kakek nenek Sumarto Siswomiharjo ada empat orang. Sosrokartono, anak pertama dan pernah menjadi camat di wilayah Klaten. Rahman adalah anak bungsu Sosrokatono. Menurut kakeknya, ayah Rahman mempunyai empat anak, yang masih hidup hanyalah Rahman. Sosrokartono, istri dan anak anak yang lain meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas tahun enam puluh limaan. Mobil yang ditumpanginya menuju Yogyakarta masuk sungai dan menewaskan anak beranak sekeluarga itu. Rahman sewaktu kejadian kecelakaan itu sudah ikut kakeknya di Yogyakarta sehingga terhidar dari kecelakaan yang memilukan itu.
Demikian cerita kakek Marto kepada Rahman yang diceriterakan kepadanya sejak kecil. Rahman mendengar cerita itu tidak terlalu bersedih karena tak mengenal secara tepat dan paham wajah wajah mereka. Hanya sedikit yang dikenalnya wajah ibunya yang lembut dan bapaknya yang gagah. Itupun hanya dalam foto keluarga. Bapaknya dalam fotonya berpakaian peranakan kesultanan Yogyakarta, nampak penuh wibawa.
“Kek, pakaian bapak kok seperti adipati dalam ketoprak.” celetuk Rahman kecil suatu kali.
“Hus! Jangan sembrono. Itu bapak kamu dalam pakaian Jawa.” kata kakek menerangkan.
“Habis pakaiannya, sih.”
“Pakaian seperti itu hanya orang orang tertentu saja yang pantas memakainya. Orang kebanyakan tak mungkin memakainya.”
“Emangnya kenapa, Kek?”
“Ya, begitulah keadaanya waktu itu.” jawab kakek.
“Apa memang peraturannya begitu, kek?”
“Ya tidak ada peraturan seperti itu. Hanya orang orang mendasarkan diri pada aturan tak tertulis.” jelasnya.
“Lalu bagaimana orang mengerti itu peraturan. Bagaimana bila ada orang yang melanggarnya?” tanya Rahman penasaran tanpa mengetahui secara persis apa yang dimaksud dengan peraturan yang tak tertulis. Ditatapnya mata kakeknya menginginkan agar kakeknya segera menjelaskan sejelasnya. Kakek Marto kagum akan kecerdasan anak itu. Tidak dikiranya cucunya akan bisa merangkai pertanyaan seperti itu. Rupanya kecerdasan bapaknya menurun padanya. Pandangan menerawang mengingat anaknya, Sosrokartono yang mirip cucunya ini. Tatapan matanya bibir dan tawanya. Cara bicarnya dan ekspresi wajahnya ketika ingin mengetahui sesuatu yang ada di sekelilingnya juga besar seperti bapaknya ketika masih kecil. Persis. Ya, Persis sekali, batinnya.
“Bagaimana, Kek?” Kakek Marto terkejut. Ingatannya pada masa silam buyar. Titik air matanya hampir saja menyemburat dari sudut matanya yang sudah mengeriput. Pandangan matanya menerawang mengingat tragedi yang menimpa anaknya yang paling dibanggakan. Karena satu satunya anak lelaki yang diharapkan bisa menjunjung harga diri dan martabatnya di kelak kemudian hari. Bisa mikul dhuwur mendem jero. Tapi takdir membawa ke tempat lain. Ke tempat yang sama sekali tak diduganya. Maka malapetaka itu terjadilah.
“Ayo, Kek!” rajuk Rahman sambil menarik narik tangan kakeknya.
“Begini. Aturan tidak tertulis itu, aturan {ang mendasarkanpada perkataan pantas dan tidak pantas, pantes lan ora pantes. Ukurannya dalam diri kita masing masing. Semua orang Jawa pasti mengetahui hal ini.”jelasnya.
“Lalu bagaimana dengan orang yang melanggarnya.”
“Mereka yang melanggar berarti orang itu tidak tahu atau belum tahu. Orang itu dikatakan belum menjadi orang Jawa, belum Jawa. Wis dewoso, nangging durung Jawa. Kelakuannya masih mbocahi. Belum temua.”
“Kalau begitu sulit dong, Kek?”
“Bagi orang yang belum Jawa memang sulit, Tapi bagi orang yang sudah Jawa tidak ada masalah.”
“Kalau begitu aku dan kawan kawan sebayaku bukan orang Jawa?” tanyanya polos.
“Bukan. bukan begitu. Anak kecilpun bisa dikatakan sudah menjadi orang Jawa jika sudah mengetahui dan melakukan sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan prinsip prinsip orang Jawa.”
“Jadi untuk menjadi Jawa tidak harus ditentukan oleh usia seseorang dong kalau begitu, Kek?”
“Tepat!” pujinya.
“Lalu. Rahman sudah Jawa belum, Kek?” tanyanya nakal. Kakek Marto hanya tersenyum. Rahman tak memahami arti senyuman Kakek. Pertanyaan itu tak perlu jawaban, bagi Kakek. Perkataan Rahman yang memakai perkataan dong, jelas mencerminkan jawaban yang sesungguhnya.
“Bagaiman, Kek?”desak Rahman.
“Kurang sedikit.” jawabnya sambil tertawa kecil. Rahman ikut ikutan ketawa. Tak mengerti apa yang dimaksudkan. Tapi tak mengertinya itu dibiarkan saja. Dengan begitulah orang Jawa mengajarkan budi pekerti pada anak keturunannya. Jawaban tidak harus dengan kata kata verbal. Jawaban juga bisa dengan senyuman. Anak anak dilatih untuk memahami, Walaupun pada awalnya tidak mengerti, tapi dengan sedikit demi sedikit kebiasaan akan mengerti bahwa sebuah senyuman dan gerakan tertentu akan memberikan jawaban yang jelas. Anak anak Jawa sudah diajarkan dari sejak kecil untuk menangkap jawaban jawaban dengan non verbal.
*******
Sebagai mantan wedana di daerah pinggiran selatan Yogyakarta, Sumarto Siswomiharjo berhak menerima pensiunan sebagai bekal menjalani masa tuanya. Menjamu Panglima Besar Jenderal Sudirman sewaktu perang revolusi fisik memperebutkan kota Yogya merupakan hal yang sangat membahagiakan. dalam kenangan. Walaupun pada waktu itu, ia sangat khawatir juga akan kedudukannya apabila perbuatannya diketahui oleh mata mata Belanda yang banyak berkeliaran pada waktu itu. Jika hal itu terjadi maka pasti dirinya akan dieksekusi dan tempat tinggalnya akan dibumihanguskan seperti halnya temannya yang menjadi Wedana di daerah Kulonprogo. Tapi dalam hatinya, ia bertekad untuk menyerahkan hidup dan matinya untuk republik yang baru saja lahir saat itu. Berbagai upaya dilakukan di daerah kekuasaannya untuk mendorong warga masyarakat mensuport para pejuang yang bergerilya. Diperintahkannya masyarakat untuk selalu ringan tangan dan memberikan apa yang dibutuhkan para pejuang. Selain itu ditegaskan agar bila mengetahui ada mata mata musuh agar segera melaporkan langsung kepadanya. Inilah perintah perangnya saat itu kepada para warganya agar para anjing anjing Belanda, pribumi yang menghianati bangsanya sendiri segera mendapat ganjaran yang setimpal. Karena mereka telah menjual nyawa dan darah para pejuang.
“ Dalam kenangannya, Panglima Besar Jenderal Sudirman adalah orang yang sangat mengagumkan. Penuh wibawa dan simpatik sekali kepada para bawahannya. Perhatian kepada para pengawalnya sangat tinggi. Kecermatannya dalam membaca situasi medan perang sangat luar biasa. Intuisi perangnya tiada bandingannya sampai saat ini. Kemana harus bergerak dan kapan harus diam, diperhitungkannya dengan matang. Intuisinya yang sangat tajam. Kata katanya lembut walaupun tak berkesan lemah. Ketegasan tetap menyemburat sebagai seorang militer sejati.
Sebagai tanda penghormatannya yang tinggi terhadap Panglima Besar Jenderal Sudirman, foto besar di pasangnya di ruang tengah. Foto yang selalu mengenangkannya akan masa lalu. Foto yang akan selalu menghiburnya di masa masa yang akan datang. Masa yang penuh dengan kontradiksi yang menyelimuti kehidupannya. Walaupun penghidupannya sudah lebih dari cukup dibanding masyarakat sekitarnya, tetapi hal yang sangat mengkhawatirkannya adalah masa depan cucunya, Rahman. Tentang cucu cucunya yang lain tidaklah begitu menghawatirkannya. Ya, hanya Rahmanlah yang selama ini dikhawatirkannya. Sebetulnya kadang ia merasa ragu akan kekhawatirannya itu. Sebab dilihat dari kesehariannya, Rahman yang hidup dengan optimismenya bukankah bukti akan masa depan cucunya yang tak perlu dikhawatirkannya. Rahman aktivis organisasi Islam terbesar dan tertua. Organisasi yang telah berhasil membawa kader kadernya menduduki jabatan jabatan psestisius, baik dalam pemerintahan maupun dalam dunia swasta. Rahman seorang mahasiswa yang pandai pula, pergaulannya luas. Ini semua adalah alasan alasan yang meragukan akan kepesimisannya akan masa depan Rahman.
Tapi ada satu hal yang cukup esensial dalam kehidupan masyarakat berkaitan dengan rahman. Satu hal yang selama ini menghantui akan kesuraman Rahman di masa yang akan datang. Zaman yang tak bersahabat tentu akan dihadapi oleh Rahman sendirian kelak.
“Aku tak mungkin menjelaskannya sekarang.” demikian ia menekan perasaannya yang selalu bergolak. Cerita yang dikarangnya selama ini akan terus disimpannya rapat rapat. Kakek Marto kadang kadang khawatir juga akan kenalan kenalannya atau tetangganya yang akan membuka siapa sebenarnya Rahman. Tapi syukurlah, hingga kini tak terdengar akan hal hal yang menyerempet ke masalah yang dirahasiakannya. Itu yang diketahuinya selama ini.
Masalah itulah yang menyebabkan ia menempati rumah yang cukup besar di jalan Gatotkaca ini. Rumah aslinya di pingggiran selatan Yogyakarta telah dijualnya dan membeli rumah yang kini didiaminya.
“Pak, untuk apa kita pindah hanya untuk sebuah rahasia yang akan diketahui juga di masa datang?” tanya istrinya waktu itu ingin bersikukuh tetap tinggal di daerah selatan Yogyakarta.
“Tapi ini demi kebaikan cucu kita, Bu.” jawabnya.
“Ya. Tapi toh, Rahman akan tahu juga keberadaannya kelak. Dan kita tak mungkin selalu menyimpan kebohongan.” Nenek Marto mengungkapkan perasaannya ingin berusaha jujur kepada cucunya. Dalam dirinya bergolak antara berterus terang atau tetap pada cerita yang telah dikarangnya sehingga menjadi"kebenaran yang vak terbantahkan suatu saat kelak. Tapi hal itu selalu bisa di cegah oleh suaminya.
“Ini demi kebaikan cucu kita, Bu. Ia kini belum saatnya mengetahui dirinya yang sebenarnya. Ia belum siap untuk menerima kenyataan yang kita simpan.”
“Ya. lalu kapan?” tanyanya.
“Itu persoalan nanti kalau sudah tiba waktunya. Yang terpenting kini kita harus pindah rumah. Rumah ini harus kita jual. Kita harus pindah dari sini yang cukup jauh, tapi masih di Yogya. Sebab Rahman kini sudah sering menanyakan akan orang tuanya pada tetangga kanan kiri. Ini bahaya baginya jika rahasia kita bocor, Bu.” Kakek Marto meyakinkan istrinya.
“Ya, kalau memang begitu keyakinan Bapak, terserah apa baiknya saja.” kata istrinya pasrah. Dipeluknya tubuh istrinya waktu itu atas persetujuan pendapatnya. Ini salah satu yang sangat disayangi Kakek Marto pada istrinya. Pasrah akan keputusan suami, tapi bukan asal pasrah. Ia juga bisa menolaknya jika menurut intuisi kewanitaannya akan membahayakan keutuhan keluarga dan anak keturunannya.
Waktu pindah, Rahman belum bersekolah. Hal ini mempermudah kakek dan neneknya untuk bisa tetap merahasiakan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka berkeyakinan sebaiknya Rahman tidak mengetahui sampai waktu yang tepat menurut kakek neneknya itu.
Kakek dan nenek dari pihak ibu sudah berketetapan yang sama pula dengan kakek nenek Sumarto Siswamiharjo. Mereka juga berkeyakinan bahwa belum saatnya untuk mengungkapkan kejadian yang sebenarnya. Rahman masih dalam perkembangan yang membutuhkan suasana yang tepat untuk membentuk kepribadian yang baik. Mereka tahu bahwa sesekali teman sebayanya menyinggung nyinggung tentang orang tuanya. Tapi hal itu belumlah dipahami benar oleh Rahman, karena kakek neneknya selalu meyakinkan akan mana yang benar dan mana yang salah. Yang sangat dikhawatirkan mereka timbulnya dendam yang akan memupwk kebencian demi kebencian yang bisa berakibat fatal pada masa depannya sendiri.
Memang lebih baik tidak mengetahui secara pasti tentang apa yang ada dalam diri kita dari pada mengetahuinya namun tak bisa diatasi akibat yang bisa ditimbulkannya. Bagaikan suatu penyakit yang mematikan, yang obatnya susah dicari atau pengobatannya dengan biayayang tak terjangkau maka sebaiknya tidak mengetahui akan penyakit itu sama sekali daripada mengetahuinya. Ini barangkali yang menjadi keyakinan mereka terhadap rahasia yang di simpan rapat rapat. Berbohong demi kebaikan masa depannya.
Begitulah kakek dan neneknya mengasuh Rahman sambil memendam suatu rahasia. Kinipun rahasia itu tersimpan rapat dan rapi walaupun Rahman telah menjadi mahasiswa. Dalam diri Rahman, apa yang ditanamkan oleh kakek dan neneknya sejak kecil sudah menjadi bagian yang tak mungkin bisa diubah. Kebenaran cerita yang merupakan sebagian dari kebenaran yang diyakininya. Keyakinan tentang keberadaan dirinya, walaupun pernah ada yang mengatakan hal yang berbeda dengan cpa yang diketahui. Hal itu tak merubah kepercayaannya pada apa yang telah ditanamkan kakek neneknya. Ia yakin kakeknya takkan pernah membohongi dirinya.
********
KETIGA

“Kaulah yang menggetarkan hati ini.” batin Rahman. “Susah sungguh melupakan namamu. Kalaulah gadis pertama yang menggetarkan hati ini.” kata kata cengeng melintas dalam benaknya.
Mulanya Rahman memandang Ratna - gadis yang selama ini membayangi setiap langkahnya sebagai mahasiswa biasa. Biasa seperti mahasiswa lainnya. Lincah, riang dan selalu ingin tahu hal hal baru yang hadir di sekelilingnya. Ia mahasiswi fisifol, adik kelas Rahman. Pembawaannya yang riang membuat mudah berteman dengan siapa saja sehingga menjadikan ia cukup populer. Apalagi paras wajahnya yang enak dilihat dengan dandanan yang mencerminkan keriangannya. Warna warna cerah selalu membalut tubuhnya yang langsing dan kulit kuning langsat. Pandangannya lembut tapi kesan ceria dan kecerdasannya memancar dalam setiap perkataan yang diungkapkan.
Minggu minggu ini Rahman selalu ingin melihatnya. Jadwal kuliahnya yang kadang bersamaan membuatnya selalu semangat untuk datang ke kampus lebih awal. Getar di hatinya selalu tak bisa ditekan ketika melihat Ratna sedang bercakap cakap dengan teman temannya. Rasa ingin mendengar ucapannya keluar dari mulut selalu menjadi harapannya.
“Man, kau tak pantas menjadi pembicara hebat kalau hanya akan berbicara dengan gadis saja tak ada keberanian.” ledek Edi.
“Lho. Itu tak ada korelasinya.” bantah Rahman.
“Tentu ada, dong!” sama sama berbicara. Sama sama perlu ada bahan pembicaraan dan sama pula harus ada keberanian.”
“Ya tentu dalam hal itu ada. Tapi konteknya lain. Ini berkaitan dengan perasaan khusus seseorang.” kata Rahman.
“Ah kau hanya beralasan. Tapi yang jelas kau ingin bicara dengan Ratna tapi kau tak ada keberanian. Titik. Persoalan itu saja sebenarnya. sangat sederhana. Iya khan? Kau tak ada keberanian.” tuduh Edi. Rahman hanya terdiam seolah mengakui akan perkataan Edi. Pengakuan itu tidak berlama lama dan kemudian Rahman berusaha mengalihkan perhatian dengan berkata : “Saya mandi dulu. Sudah jam empat, nih. Entar kan ada pertemuan pengurus untuk sosialisasi hasil konggres tempo hari.”
“He eh dech, sono!” kata Edi sambil menyunggingkan senyumnya meledek Rahman atas usahanya mengalihkan perhatian. Rahman segera keluar kamarnya dan Edi ditinggalkan sendirian. Kamar Rahman cukup luas dengan buku buku yang berserakan di meja. Deretan buku berbagai macam disiplin ilmu bertengger di rak buku yang bersandar pada setiap dindingnya. Mata Edi tertumbuk pada buku yang berjudul How to Love Her karangan Robert Hobsbown. Hatinya geli. membayangkan seorang aktivis organisasi yang piawai dalam berdebat tapi urusan cinta dia harus membaca buku teks tentang cinta.
Setelah Rahman mandi dan berpakaian, mereka berdua segera berangkat. Di kantor cabang sudah ada Karlan dan Raharjo, pengurus cabang lainnya dan beberapa pengurus organisasi tingkat universitas yang ada di Yogyakarta. Nampak pula pengurus wanita seperti Nurlaela, Widyaningrum, Julaeha dan pengurus yang lain. Mereka ini pengurus organisasi juga yang menangani bagian kewanitaan. Pemimpin rapat segera membuka acara dengan agenda sosialisasi hasil konggres organisasi di Jakarta beberapa hari yang lalu.
“Saudara saudara, pertama tama saya tegaskan tujuan dari didirikan organisasi kita ini,” kata Rahman memulai mempresentasikan hasil konggresnya. “Tujuan organisasi kita adalah mewujudkan terbinanya mahasiswa Islam dengan kualitas Insan ulil albab yang ikut berperan aktif dalam terwujudnya tatanan masyarakat madani yang diridhoi oleh Allah SWT. Untuk tujuan ini secara operasional kita harus secara serempak bersama sama mengembangkan potensi diri yang kreatif terhadap kehidupan dan mengambil peranan aktif dalam mewarnai kehidupan mahasiswa dan masyarakat pada khususnya sehingga tercapai nuansa nuansa tatanan kehidupan masyarakat yang Islami. Disamping itu kita juga harus mengembangkan dan memajukan serta mewujudkan kerja sama dengan organisasi organisasi lainnya dan melakukan usaha usaha lain yang sesuai dengan dasar organisasi dan bermanfaat untuk mencapai tujuan organisasi kita.” Hadirin memperhatikan dengan penuh semangat. hingga Rahman menyelesaikan pembicaraan. Pemimpin rapat segera mempersilahkan hadirin untuk menanggapi ataupun menanyakan hal hal yang berkenaan dengan apa yang telah disampaikan oleh Rahman.
“Begini. Tanggapan saya pendek saja. Dan lebih tepat bukan tanggapan tapi pertanyaan.” kata Sasongko, salah satu dari pengurus cabang yang tak hadir dalam konggres. “Tadi diungkapkan bahwa susunan organisasi kita ini bertujuan membentuk Insan ulil albab. Nampaknya tujuan ini sangat ideal dan kita sudah ketahui bersama.bahwa insan ulil albab adalah insan yang mempunyai khikmah, sanggup mengambil pelajaran dari umat terdahulu, kritis dalam pembicaraan atau pemikiran, bersungguh sungguh dalam mencari ilmu, selalu bertafakur, mampu mengambil pelajaran dari kitab yang telah diwahyukan oleh Allah, sanggup sendirian mempertahankan keyakinannya dan tidak terpesona dengan bilangan yang banyak dalam kejelekan dan seterusnya. Dari sekian karakteristik tersebut nampaknya tak satupun point yang secara tegas mengadakan keberpihakan kepada rakyat kecil atau wong cilik.”
“Begini saudara Sasongko, Masalah keberpihakan ini telah menjadi bahan perdebatan kami ketika kami pulang dari musyawarah di Jakarta.
“Saya setuju dengan pendapat saudara Sasongko tentang keberpihakan tersebut. Bahwa kita harus berpihak kepada wong cilik. Dan dalam karakteristik Insan Ulil albab memang secara eksplisit tidaklah disebutkan. Namun bila kita cermati lebih dalam lagi keberpihakan itu ada secara implisit. Misalnya berkaitan dengan ciri selalu bertafakur atau berfikir terhadap segala ciptaan Allah baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Ini harus dipahami dalam kaitannya dengan kemampuan mengambil pelajaran dari kitab kitab yang telah di wahyukan kepada umat manusia terutama dengan hancurnya setiap peradaban manusia kala para penguasa dan cerdik pandai tak lagi memperhatikan rakyat kecil. Kni saya kira ada dalam setiap kitab agama samawi. Dalam hal ini terang kepada kita bahwa keberpihakan itu harus selalu dijaga. Dan secara implisit ada dalam karakteristik insan ulil albab tersebut.” jelas Rahman. panjang lebar.
“Lalu keberpihakan itu bersifat fungsional atau struktural?” tanya Widyaningrum.
“Saya kira keberpihakan kita terhadap wong cilik lebih pada keberpihakan yang bersifat fungsional. Hal ini berkaitan dengan organisasi kita yang menitikberatkan pada bentuk organisasi kader yang mempersiapkan manusia manusia cendikia tadi, bukan pada bentuk organisasi yang mempunyai kecenderungan untuk memenangkan mayoritas dalam kerangka pembentukan struktur masyarakat. Hal ini membutuhkan kekwasaan yang mestinya diraih dengan pengerahan massa atau secara tepat pengumpulan suara terbanyak. Organisasi kita lebih menitikberatkan pada perumusan perumusan konsepsi dan analisa analisa sebagai wadah pelatihan.” terang Rahman. Suparman, salah seorang ketua organisasi tingkat universitas mengacungkan jarinya, ketika Rahman akan melanjutkan pembicaraannya.
“Ya, silakan.” kata Edi, pemimpin rapat.
“Begini saudara saudara. Dari tadi kayaknya kita berbicara tentang konsep konsep saja dan itu sah sah saja. Hal itu memang isi dari musyawarah. Tapi yang jelas apakah musyawarah juga merumuskan langkah langkah kongkrit operasional organisasi berkenaan dengan peningkatan kita sebagai kader kader organisasi?” tanyanya. “Itu saja pertanyaan saya. Mohon dijawab secara kongkrit saja.” lanjutnya. Hadirin tersenyum mendengar permintaannya sehingga mengesankan pembicaraan selama ini hanya mengawang awang di langit saja.
“Saya kira ini bagian Raharjo untuk menjawabnya,” kata Edi.
“Karena jawaban ingin kongkrit maka akan saya jawab yang kongkrit kongkrit saja. Langkah kongkrit organisasi dalam rangka peningkatan kualitas kadernya yang telah diputuskan adalah pertama, kita harus tetap kukuh memegang azas organisasi kita. Kita harus yakin bahwa azas organisasi kitalah yang paling benar di antara azas azas yang ada, tapi bukan berarti kita taqlid buta. Kita juga harus mengkritisi sejauh itu tidak bertentangan dengan ajaran agama kita.Kedua, kita konsisten dengan dasar keislaman kita dan semua kegiatan kita harus selalu berpegang pada parameter parameter yang telah digariskan dalam Islam. Ketiga, ini yang saya kira paling kongkrit di antara kedua hal tersebut di atas, yaitu merealisasikan ajran ajaran Islam dalam kehidupan sehari hari. Hal ini dapat dilihat contohnya pada kewajiban memakai jilbaba bagi anggota wanita. Demikian.” ucap Raharjo.
“Saudar saudara sekalian, nampaknya adzan magrib akan segera berkumandang beberapa menit lagi. Karena itulah acara sosialisasi hasil musyawarah di Jakarta pada kesempatan ini kami cukupkan. Namun demikian apabila masih ada hal hal yang belum jelas bagi Saudara saudara, maka Saudara bisa bertanya jawab dengan para utusan yang mengikuti musyawarah. Untuk yang terakhir, kami persilahkan saudara Karlan untuk memberikan pengumuman pengumuman tentang kegiatan kegiatan yang akan dilakukan pengurus cabang dalam waktu dekat ini. Saya persilahkan, Saudara Karlan.” kata Edi.
Secara singkat Karlan menyampaikan beberapa pengumuman kegiatan pangkaderan yang akan dilakukan dalam bulan depan. Pesertanya di harapkan masing masing universitas mengirim dua orang perserta. Hal ini dikarenakan sifat pengkaderan yang harus setiap universitas mengikutinya. Adzan magrib berkumandang tepat setelah Karlan menyampaikan pengumumannya. Mereka segera membubarkan diri, ada yang langsung mengambil air wudlu dan ada yang pulang karena ada urusan yang lebih penting.
*******
Malam semakin larut. Pukul sebelas malam Rahman baru sampai ke rumah setelah terlebih dahulu mampir ke rumah Edi sepulangnya dari kantor cabang. Hatinya gelisah. Hari hari akhir ini pikirannya selalu larut memikirkan gadis pujaannya yang baru saja dikenalnya, lebih tepatnya dilihatnya. Ratna, ya Ratna. Bayang bayang dirinya selalu hadir bila Rahman sendirian.
“Ayo, scot jump kau!” bentak Rahman,” dua puluh kali,” lanjutnya. Bentakan yang manis terasakan dengan nikmatnya. Bentakan itulah yang pertama kali membawa perasaan aneh dalam dirinya. Perasaan nikmat yang ingin selalu berulang. Sebab itulah persinggungan pertamanya dengan Ratna ketika perpeloncoan mahasiswa baru beberapa bulan lewat. dalam kenangannya.
“Salah apa saya, Kak?” protes Ratna. Sorot matanya yang lembut menembus jantung Rahman.
“Kau makan permen?” bentak Rahman lagi. Ratna dalam hati mengakui kejelian Rahman dalam memperhatikan mahasiswa dan mahasiswi yang sedang diplonco. Tapi dalam hatinya bergetar juga mendapat bentakan yang tegas dari kakak kelasnya. Bentakan itu memang tegas, tapi terasakan aneh"nadanya. Ada getar getar halus dirasakannya. Bentakan yang dirasakan tidak mengandung maksud yang sebenarnya, tanpa emosi memelonco dirinya. Rasa aneh merasuki jiwanya. Namun demikian, hatinya ingin juga menguji ketegasan dan kejeliannya dalam membuktikan kesalahan yang dibuat. Dengan spontan, permen yang tinggal sebiji kacang di telannya tanpa jejak.
“Apa bukti, Kakak?” bantah Ratna sambil menatap wajah Rahman. Tatapan yang ditekadkannya dengan penuh getaran. Tatapan mata bulat hitam besar yang bersinar membalasnya. Ada kewibaan yang memancar disana.
“Apa kau perlu bukti!” sahut Rahman. “Baik. Jika terbukti kau salah. Bersediakah kau menambah scot jumpmu sepuluh kali lagi?” tantang Rahman. Ratna merasa yakin bahwa Rahman tidak akan bisa membuktikannya.
“Okey!” sahut Ratna. Rahman terkejut dengan keberaniannya menyanggupi tantangannya. Padahal bukti bukti sudah di tangan.
“Ayo buka kaos kakimu!” perintah Rahman. Ratna gugup. Sekali lagi memuji akan kejeliannya memelonco. Ratna dengan perasaan malu membuka kaos kakinya. Dimana ada bungkus permen yang tadi di makannya. Dengan sprotif, ia melakukan scot jump sebanyak tiga puluh kali. Ada perasaan kasihan menggayuti Rahman. Karena sebetulnya ia hanya menguji spotivitasnya saja. Diam diam dalam hatinya merasa kagum juga akan keberaniannya, akan tekadnya tak mau menyerah begitu saja. Ada keteguhan pendirian di sana.
Rahman tersenyum membayangkan peristiwa yang terjadi beberapa bulan lewat ketika ia menjadi panitia penyambutan mahasiswa baru. Sejak itu hatinya selalu terpaut pada sebuah nama, Ratna. Seorang gadis yang sportif mengakui kesalahannya setelah kesalahannya bisa dibuktikan. Kekagumannya pada gadis itu mulai tumbuh sejak itu. Getar getar cinta pun mulai menjalari dirinya. semakin lama dirasakan semakin subur rasa cintanya. Getar getar yang semakin dahsyat dirasakannya dalam setiap kesempatan.
Malan semakin larut. Dentang jam bandul di ruang tengah mengalun dua kali. Rahman segera merebahkan tubuhnya. Bayangan Ratna menari nari di langit langit kamarnya. Suara batuk kakeknya sesekali terdengar. Seolah mengetahui apa yang sedang dirasakannya.
*********



KEEMPAT

“Sudah ya, Rat. Aku pulang dulu.Aku harus menyelesaikan paper,” kata Widyaningrum sambil meninggalkan tempat kost Ratna.
Sepeninggal Widyaningrum suasana sepertinya membeku. Sore yang sedikit muram memberikan kontribusi pada suasana hati Ratna untuk bimbang, gelisah dan sejuta rasa yang tak menentu.
Begitulah yang selalu terjadi. Rasa tak menentu ditambah bimbang, tapi juga bosan. Setiap kali Widyaningrum datang ke tempat kostnya, sudah pasti ia akan menyodorkan surat bersampul biru dengan digambari gunung danseekor merpati terbang sendiri. Ini lagi! ini lagi! batinnya. Pasti surat itu dari Rahman.
Seperti biasanya, surat bersampul biru itu langsung dilemparkan ke keranjang sampah, tanpa dibacanya terlebih dahulu. Membosankan, memuakkan. Paling paling isinya pernyataan bahwa ia mencintainya. Dengan argumentasi yang sering sok ilmiah, tapi gombal dan gombal! jerit hatinya.
Sebagai aktivis mahasiswa, Rahman tak bisa menutupi tingkah dan sikapnya yang condong kepada adik kelasnya, Ratna. Ratna Widyaningsih lengkapnya, putri salah seorang tokoh organisasi Islam di kota kelahirannya. Keberaniannya untuk tampil di mimbar mimbar diskusi dan kadang unjuk rasa, terasa lenyap begitu saja untuk urusan yang satu ini. Ia selalu minta tolong pada Widyaningrum untuk mengantarkan surat suratnya. Betapa sulitnya untuk merangkai kata kata yang bernuansa jalinan kasih. Merangkai kata kata argumentatif dan persuasif bagi gerakan mahasiswa tak sesulit merajut benang kata kata halus memikat.
Gerimis mulai turun. Naopak musim hujan yang akan segera pupus. Di langit burung burung sriwiti meliuk liuk mempermainkan angin. Bebas riang tak pernah merasa muak dengan angin yang berhembus. Gerimis belum juga berhenti. Angin berhembus masuk lewat ventilasi. Dingin suasana menambah sepi. Teringat wajah Rahman yang tegas mengandung kecanggungan sewaktu perpeloncoan dulu. Ratna berusaha sekuat tenaga mengelabui Rahman, namun harus diakui kejeliannya. Ingat kejadian itu, ia tersenyum akan kenaifannya.
Entah ada dorongan dari mana, surat bersampul biru di keranjang sampah itu yang telah dilemparkannya dipungut kembali. Ratna jenggah. Dorongan misterius membimbing tangannya untuk membuka surat malang itu.
“Ratna, inilah suratku yang kesekian puluh kali, buatmu.” buka Rahman dalam suratnya. “Keseratus kali, kek! keseribu kali kali, kek! apa urusanku.” celetuk batinnya.
“Aku tak tahu nasib surat suratku terdahulu.Langsung Adinda baca atau langsung Adinda lempar ke keranjang sampah.” Aku tak tahu.” lanjutnya. “Puih, adinda. Apa apaan, adinda.” katanya sebel.
“Tapi dari perasaanku, Adinda tak pernah membaca surat suratku. Satu kalipun. Ini adalah konsekuensi yang harus aku pikul. Aku tidak sedih. Aku tidak kecewa. Kesemuanya itu hanyalah bukti bahwa aku selalu berpengharapan akan terbukanya kuncwp mawar buat sang kumbang.” Sret .... sret .... sreeeeet! surat sampul biru sobek sobek jadinya. Berkepingan, berserakan di lantai.
“Ih, kuno. Gombal. Pakai bahasa sajak segala.” jeritnya seketika. Diremasnya sisa surat beserta sampulnya itu dan dilemparkan ke selokan. Air hujan segera melumat nasibnya habis. “Menjijikan! Memuakkan! kuno!” umpatnya berhambwran.
*******
Matahari merambat naik menampakan wajahnya yang kemerahan. Sinarnya lembut menawarkan kedamaian, menyapa pucuk pucuk cemara. Merapi tegak tegar biru disaput kabut tipis yang nampak enggan berpisah menyelimuti otot otot lembah ngarainya yang eksotik. Jalanan Boulevard masih sunyi. Sesekali sepeda melintas pelan membalikan embun embun yang menempel di atas daun yang berserakan di jalan.
Pagi itu Rahman buru buru menghidupkan sepeda motornya. menuju kampus. Dadanya penuh dengan keinginan yang menderu deru berkobar.
“Sarapannya kok sedikit, Le?” tanya neneknya.
“Cukup kok, Nek.” Rahman berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Ia segera meninggalkan ruang makan. Dengan buru buru dikenakannya sepatu, lalu dikendarainya sepeda motornya. Samar samar terdengar pesan neneknya agar berhati hati.
Rahman memacu sepeda motornya dengan cukup kencang. Jalanan menggeliat dipenuhi para pelajar dan mahasiswa yang berjalan kaki. Jangan jangan Ratna sudah masuk ke kelasnya, katanya dalam hati penuh khawatir. Mengingat hal ini Rahman ingin memacu sepeda motornya lebih cepat. Moga moga saja aku belum terlambat, harapnya. Setelah sampai di kampus Rahman segera memarkir sepeda motornya, ia buru buru menuju jalan dimana Ratna selalu melewatinya.
Hatinya sudah bulat untuk mencegat Ratna dan mengajaknya sedikit bicara. Keinginannya meluap luap mengiringi langkahnya. Moga moga saja ia belum lewat, harapan itu diulang ulanginya.
“Hai, Man!” seru Karlan mengagetkan. Rahman limbung.” Hai ada proyek, nich. Bagi bagi dong!”
“Ah, nggak”, katanya pendek.
“Ya lalu ngapain kau disini sepagi ini ?”
“Ada, dech.” kata Rahman berusaha menyembunyikan maksud sesungguhnya.
“Pelit amat sich,”cibir Karlan.” tapi aku kira tak jauh dari masalah itu, khan!” Telunjuknya mengarah pada seseorang Rahman terkesiap. Jantung berdebar bertambah hebat melihat Ratna sedang berjalan bersama Widya.
“Tahu saja kau, Lan.” Karlan merasa menang. Niatnya untuk mencegat Ratna goyah. Jika niatnya tetap akan dilakukan jangan jangan akan merusak reputasinya. Apalagi ada Widya dan Karlan. Kalau cintanya nanti terbalas bukanlah masalah, tapi jika cintanya ditolak?” ini betul betul suatu malapetaka. Suatu pengumuman tentang kegagalan akan cepat tersebar sama cepatnya pula dengan cintanya bila teraih.
Apa yang harus kulakukan? Diam? Dimana keberanianmu selama ini? itulah akibatnya jika orang terlalu yakin akan kemampuan dirinya sendiri. Kau harus banyak belajar lagi. Khususnya tentang masalah yang beginian! perintah batinnya.
Sementara itu Ratna melangkah dengan ceria. Keceriaan yang diselingi sedikit tawa. Tak mengetahui bahwa ada sorot mata tajam yang memperhatikan dari kejauhan.
Pakaian amat serasi. Setelan panjang lurus berwarna coklat muda dengan celana ali baba. Keerudung berwarna sama. menyertainya. Tas warna hitam bergantung dibahunya dengan buku panjang menyembul.
“Rat, kapan jadinya kau ikut training?” tanya Widya. Sudah satu minggu ini Widya sudah beberapa kali mengajak Ratna ikut training tingkat dasar yang diselenggarakan oleh organisasinya. Sebagai sahabaqtnya, Ratnalah satu satunya yang belum mengikuti training organisasinya.
“O iya. Gimana ya? Habis aku terus sibuk sih Rat.” ujarnya.
“Ya memang kita selalu sibuk. Nampaknya tak ada waktu luang sedikitpun. Tapi baiknya kita menyisihkan waktu untuk kegiatan lain selain kegiatan perkuliahan.” bujuk Widya. Ratna tak segera menjawab. Sebab bukan itu alasan yang sebenarnya, ia tak segera mengikuti. Tapi yang jelas ia masih menahan diri terhadap ajakan Widya karena ia tak ingin bertemu dengan Rahman. Kalau mau ia ikut training berarti telah menyediakan waktu untuk ditemui Rahman. Sebab Widya sama sama aktif di organisasi dimana Rahman menjadi salah seorang pengurusnya. Ada perasaan yang mencegahnya. Apalagi hari hari terakhir ini Rahman semakin rajin menyuratinya lewat Widya. Inilah alasan yang sebenarnya.
“Kapan kapan saja, Wid. Kalau sudah waktunya, pasti aku ikut training.
“Ya tapi kenapa harus ditunda tunda. Ini kan kegiatan yang baik. Saya kira jika kita akan mengikuti kegiatan yang positif hendaklah cepat cepat saja. Oh ya. Apalagi bulan depan aku dan teman teman akan mengadakan training tersebut.”
“Assalamu’alaikum!” seru Karlan mendekati mereka bersama Rahman yang sedang serius berbincang nampaknya nona nona kita ini.” lanjutnya.
Widya membalas salamnya sambil tersenyum. memandang Karlan sekilas kemudian ke arah Ratna. Ratna terkejut melihat Rahman bersamanya.
“Bagaimana kabarnya?” tanya Rahman. Pandangan ke arah depan. “Saya? maksudmu?” tanya Widya sambil jarinya mengarah ke dadanya.
“”Apa ?.Teman tersayang kita ini?” lanjutnya menepuk bahu Ratna. Rahman gelagapan, tak tahu pertanyaannya harus disampaikan kepada siapa. Dalam hatinya pertanyaan itu ditujukan kepada Ratna, namun lidahnya tak sanggup menyebut namanya. Karlan menyembunyikan senyumnya seperti juga Widya. Ratna pura pura memperhatikan.
“Emangnya kenapa kalau aku tanya kamu berdua?” kata Rahman berusaha mencairkan ketegangan dalam dirinya.
“Yan nggak apa apa. Tapi aku tak mau kau tanya kami berdua bersamaan.” goda Widya.
“Kalau nggak mau ya sudah tanya pada Ratna saja.” jantungnya bertambah getarannya ketika menyebut nama itu.
“Gimana, Rat? Kok diam saja !” seru Karlan.
“Baik baik saja.” Widya tersenyum mendengar jawaban Ratna. Mereka memasuki gerbang kampus.Pembicaraan mereka tersendat kekakuan. Rupanya Karlan dan Widya membiarkan itu terjadi. Mereka berdua sedikit sekali melibatkan diri dari percakapan. Mereka solah olah telah bersepakat menyerahkan kesempatannya untuk dimanfaat Rahman. Namun hal itu tidak terjadi. Lidah Rahman terasa kelu. Ketika Ratna memasuki ruang kelasnya, Karlan berucap:
“Dah sayang!” Ucap Karlan sedikit memecah kebekuan.” Belajar baik baik ya dan jangan nakal “Widya tersenyum.Rahman tergagap tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Tindakan yang paling mudah ikut ikutan tersenyum sambil membiarkan Karlan menghindar ketika mau ditimpuknya.
*******

Dosen pengantar ilmu politik tak kunjung hadir. Teman teman Ratna sudah mulai ribut. Sebagian temannya sudah menggerombol membentuk beberapa kelompok. Beberapa teman yang lain meninggalkan ruang kuliah.
“Rat, daripada kita ngobrol tak karuan kita ke perpustakaan saja, yuk!” Ajak Widyaningrum yang kebetulan dosen mata kuliahnya juga tak hadir. Tangannya menarik tangan Ratna. Jika sudah demikian, tak mungkin Ratna bisa menolaknya.
Suasana perpustakaan yang terletak di pinggir jalan utama kampus itu agak sepi. Maklum hari masih pagi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang tekun membaca di pojokan. Ada juga mahasiswa yang sedang mojok. Ratna dan Widya segera menuju rak yang berisi buku buku novel. Widya cekatan menyambar sebuah novel dan segera kabur menuju tempat duduknya yang paling sepi. Ratna masih pilih pilih novel yang tepat. Nampak membolak balikan buku saja sejak tadi, hanya melihat judul lalu diletakkannya kembali. Setiap kali membuka buku novel, selalu saja merasa tak cocok. Kelihatannya ada sesuatu yang membuatnya kacau. Barangkali peristiwa penyobekan surat sampul biru yang terakhir beberapa hari lalu ditambah pertemuan kemarin pagi.
“Ah, kacau juga.” gerutunya. Buku novel ditangannya segera diletakkan kembali di tempatnya semula.Hatinya berketetapan akan segera pergi dari perpustakaan. Pusing. Belum dua langkah kaki bergerak, sebuah tatapan tajam menghujam matanya. Ratna terperanjat.
“Rahman!” ucapnya penuh intonasi. Dipercepat langkahnya untuk menghindar. Ada perasaan bersalah mengeram dalam hatinya.
“Rat, tunggu!” suara dengan penuh emosi menghentikan langkahnya. Suara berat, tegas menghipnotis. Ratna berhenti seperti burung perkutut terperangkap jala pemburu. Bergetar, gugup dan wajah pucat merata menyebar. Rahman melangkah ke hadapannya.
“Aku ingin langsung mendengar penolakannya, Ratna. Katakanlah. Ini saja pintaku!” Rahman langsung saja menembaknya dengan permintaan yang tak terduga sama sekali. Ratna tergagap. Kejengkelannya selama ini buyar seketika. Getaran halus menjalari tubuhnya. Rahman ternyata kini telah berubah, bukan Rahman yang dulu membentaknya. Rahman kini bukan Rahman tempo hari yang selalu menyatakan cintanya lewat surat surat bersampul biru. Rahman yang garang dalam mimbar mimbar diskusi dan mimbar bebas tapi merangkak rangkak menghiba cinta seorang dara. Rahman yang penuh percaya diri dalam debat terbuka dan jawaban jawabannya yang selalu argumentatif, tapi merajuk penuh emosi dan kurang percaya diri dalam merayu gadis yang telah menggetarkan hatinya.
Bukan Rahman yang dulu, yang selalu sembunyi sembunyi dalam memantulkan perasaan cintanya. Kini ternyata Rahman telah berubah. Rahman yang seorang pemberani, seberani ia berdebat. Seorang pemberani yang akan mendengar penolakan cinta seorang gadis, Benarkah demikian?
“Ratna, cepatlah katakan. Aku ingin segra langsung mendengar darimu. Percayalah aku tak kan menyakitimu.” pintanya penuh pengharapan.
“Apa jaminannya?” tanyanya sedikit lunak. Ada nada godaan menyembul di dalamnya. Sedikit mencairkan kebekuan.
“Demi langit dan bumi. Aku berjanji.” katanya tegas. Rahman terperanjat dengan perkataannya sendiri. Tak percaya dirinya bisa dan akan mengucapkan perkataan seperti itu. Menggelikan, bagai kisah dalam novel picisan yang selalu ia lempar dari ruang kamarnya setamat SMA dulu. Ratna geli mendengar janjinya yang bombastis dan klise. Dan seperti main main walaupun diucapkan dengan wajah dan nada serius. Ratna sedikit limbung juga untuk mengucapkan kata kata.
“Ayolah cepat,” pintanya mendesak. Matanya menatap tajam tajam ke arah mata Ratna. Keheningan perpustakaan tercipta, dengan sebuah ketegaran terkandung di dalamnya. Dan dengan penuh keyakinan pada diri sendiri, diluncurkannya sebersit sinar kasih. Ratna tak dapat mengelak. Sejumput senyum ditebarkan. Bagai kuncup mawar merekah menyebarkan aroma pada kumbang. Keheningan memudar dan menandai proklamasi cinta mereka berdua.
Plok ... plok ... plok ... hore! Tepuk tangan meluncur manis dari sepasang tangan lembut Widyaningrum. Tepuk tangan lebih keras datang dari lorong perpustakaan yang berlawanan. Rupanya Edi dan Karlan menyaksikan juga peristiwa itu. Mereka tersenyum senyum. Rahman dan Ratna tersipu malu. Hati mereka berdua berdenyar denyar melantumkan lagu cinta bersemi.
“Inilah saat saat yang selalu kurindukan. Bukan hanya surat surat cinta belaka,” ucap Ratna yang tentunya hanya ada dalam hatinya. Karlan dan Widyaningrum segera menyingkir seolah ada kesibukan yang harus segera mereka kerjakan.
*****




KELIMA

Jarum jam belum menunjukan pukul sepuluh malam. Jalan Malioboro sudah mulai lenggang. Jalan yang menbujur lurus utara selatan ini menghubungkan Tugu Yogya dengan alun alun Istana Kesultanan Yogyakarta. Kilatan kilatan cahaya merah kekuningan sesekali menyembul di puncak Merapi menyembulkan pesona alami yang mengagumkan. Kiri kanan jalan yang searah dan terbagi dua itu kokoh berdiri bangunan bangunan lama dengan emperan yang luas. Lampu lampu hias bercat hijau dengan ukiran di sekitar lampu mendongak ke atas menyambut langit berbintang. Sinarnya mempercantik wajah jalanan Malioboro dengan perpaduan lampu lampu rerklame yang penuh warna cerah. Tampak mobil mobil melintas dengan pelan, sepeda dan becak becak berseliweran dengan sesekali membunyikan belnya yang khas.
Beberapa toko sudah mulai menuvup. Para pramuniaga mulai ada yang keluar dari toko toko yang berjajar. Wajah wajah cerah masih tersisa setelah sepanjang hari melayani para pembeli. Mereka pulang ada yang dijemput dengan sepeda motor, ada pula yang naik sepeda. Segera saja para pedagang lesehan menata kain pembatas dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk berdagang seperti malam malam sebelumnya.
Malam yang cerah. Bintang bintang bersinar temaram dan bulan menyelinap di balik kabut tipis. Di puncak merapi masih saja nampak percikan bunga api dengan meninggalkan warna merah kekuningan. Sebuah pemandangan yang sungguh eksotis.
“Kita pesan makanan apa, nih?” tanya Rahman. Duduknya di sebelahnya Raharjo dan Edi. Sementara Ratna,Widyaningrum dan Karlan berhadapan dengan mereka. Mereka duduk melingkar di salah satu warung lesehan yang biasa mereka singgahi sehabis acara diskusi atau rapat di kantor cabang. Warung lesehan Mbok Mul selalu yang mereka singgahi. Disamping makannya rasanya cocok bagi mereka, harganya pun terjangkau oleh isi sebagian besar saku mereka. “Saya wedhang jahe dan nasi plus burung dara goreng.” “Saya kopi kental dan nasi uduk ikan bakar,” “Saya teh kental dan nasi biasa.” “Saya es teh manis dan nasi goreng ayam.” Demikian mereka saling memesan makanan makanan kesukaan mereka masing masing. Dengan mendiktekannya pada seorang gadis belia. Ia segera mencatat pada selembaran kertas yang telah disediakan. Dengan senyum agak ditahan ia berkata: “Ini saja, Mas?” Nampak agak sedikit canggung sikapnya.
“Baru, Dik?” tanya Edi sedikit menggoda,” Biasanya Mbak Narti.”
“Ia, Mas. Anu, Mbok Narti lagi ada kepentingan.” jawabnya pendek.
“Kenalin kita kita ini, dong.” lanjut Edi.
“Ah, nggak usah, Dik.” potong Karlan. Ratna dan Rahman hanya senyum. melihat tingkah temannya.
“Heeee! Kita perlu kenal, dong!” Seru Edi menyambar.
“Anu, Mas. namanya jelek.” jawabnya.
“Nama tak penting, Dik. Yang penting orangnya kan cakep.” goda Edi membuat mereka tertawa. Segera ia menyebut namanya dengan malu malu dan kemudian berlalu untuk mengambil makanan yang telah dipesan.
Pesanan mereka segera diantar tak lama kemudian. Mereka segera menyantapnya dengan lahap. Belum lagi sepuluh sendok mereka makan, lima anak muda pengamen mampir ke tempat lesehan mereka. Dua gitar, satu biola dan satu ketipung merangkap vokal langsung mendendangkan sebuah lagu John Lenon dengan perubahan aransemen yang cukup kreatif. Dua tiga lagu mereka nyanyikannya dengan eksfresif sekali. Setelah menerima bayaran sekedarnya mereka berlalu menuju warung lesehan di sampingnya.
Mereka meneruskan menyantap makanan yang telah sempat tertunda beberapa saat tadi. Ratna tidak terlihat tidak begitu canggung lagi makan bersama teman teman Rahman, setelah beberapa kali mengikuti acara acara mereka. Ratna juga mengikuti organisasi yang yang diikuti Rahman. Kira kira setengah semester lebih sejak mereka berdua menjalin kasih. Keaktifannya di organisasi bagian kewanitaan bersama Widya dengan cepat mengembangkan intelektualitasnya. Tak aneh jika ia cepat mendapat tempat di organisasi, Disamping memang aktif dan cerdas, ia juga salah seorang putri dari tokoh pergerakan di Purwokerto. Ayahnya yang terkenal di kotanya amat senang mengetahui kegiatan putrinya mengikuti organisasi Islam di Yogyakarta. Ia sering berdikusi mengenai berbagai hal dengannya sehingga cepat menambah wawasan Ratna.
“Wid, bagaimana mulanya kamu menganggap penting untuk memecahkan masalah diskriminasi terhadap perempuan khususnya dalam masyarakat Islam?” tanya Rahman kepada Widyaningrum setelah menghabiskan suapan yang terakhir.
“Pertama, apa yang pernah dikatakan Bung Karno, tahun 1947-an tentang pengalamannya. Dikatakan bahwa suatu ketika beliau mengunjungi seorang kenalannya di suatu daerah. Kenalannya itu sembunyi sembunyi mencegah istrinya untuk menemui tamunya. Istrinya tak diperbolehkan keluar, tidak boleh menemui tamunya. Ini merupakan data historis yang bisa disimpulkan bahwa masyarakat kita beranggapan perempuan hanya berperan sebagai kanco wingking, teman urusan dapur.”
“Betul. Itu kan hanya data historis yang sekarang sudah ditinggalkan orang. Sekarang perempuan boleh keluar rumah bahkan bekerja di luar rumah. Wanita karir tak bisa dihitung jumlahnya lagi. Ini kan data historis juga yang menunjukan suatu kemajuan. Jadinya diskriminasi terhadap perempuan sudah terkikis habis,” Karlan menimpali.
“Nanti dulu. Tadi saya sudah katakan bahwa pengalaman Bung Karno itu hanya data historis. Tapi coba kita telusuri data kedua ini sebagai hasil penelitian aktivis feminim Islam, Riffat Hasan. Dalam penelitiannya di Pakistan tahun 1980 - an, ia menemukan bahwa sewaktu Islamisasi sedang digalakkan disana. Apa yang Riffat lihat?” tanya Widya Retoris. Kemudian dikatakan: “Suatu hal yang sangat kontroversial terjadi. Ternyata yang dilakukan pemerintah pertama tama adalah memaksa perempuan agar memakai purdah.”
Ratna menyetujui apa yang diungkapkan oleh Widyaningrum. bahwa diskriminasi itu masih ada hingga sekarang. Bahkan bukan saja diskriminasi terhadap perempuan tapi juga perkosaan terhadap hak-haknya sampai sekarang masih merajalela. Lalu ia mengatakan: “Saya kira apa yang dikatakan Widya benar adanya. Dan kalau para lelaki ini kurang bukti, akan saya tunjukan bukti lain.” Ucapnya tegas namun ada nada menertawakan rekan rekan bicaranya, Hal ini membuat mereka tersenyum, mendengar perkataan “para lelaki.”
“Bukti yang lain itu apa, dong?” celetuk Edi.
“Ini yang ketiga barangkali, Wid.” katanya sambil mengarahkan pandangannya ke arah Widyaningrum. “Berdasarkanpengamatan, akhir akhir ini banyak teman perempuan di kampus mengasingkan diri dari pergaulan. Mereka mengenakan jilbab dengan membatasi pergaulan dengan perempuan saja. Dengan teman perempuan pun terbatas hanya pada teman teman mereka saja yang sepaham. Apabila mereka akan bicara dengan laki laki, perempuan perempuan ini harus menunduk, tak boleh menatap wajah lawan bicaranya. Ini gejala apa?” tanya Ratna mengakhiri perkataannya.
“Lho, itu kan salah sendiri. Mengapa harus berbicara dengan orang terbatas dan dengan muka menunduk?” tanya Edi.
“Memang ini salah. Tapi, menurutku harus diketahui bahwa mereka, para perempuan itu berbuat demikian karena ajaran Islam telah dieksploitir oleh orang orang tertentu, dalam hal ini saya yakin laki laki agar perempuan berbuat demikian.”
“Jangan menuduh demikian. Saya kira sebagai laki laki tak akan berbuat demikian.” ujar Edi lagi.
“Bukankah itu sebagai upaya Islamisasi pergaulan?” tanya Edi.
“Bukan. Bukan sama sekali. Kalau itu yang terjadi dan hal itu sesuai dengan kitab Alqur’an. Akulah orang pertama yang akan angkat kaki dari Islam. Ini bukan langkah Islamisasi pergaulan. Ini adalah awal dari pengikatan manusia berjenis kelamin rerempuan ke dalam penjara penjara gelap dan penuh debu debu kebodohan dan kemunafikan kaum lelaki. Islam tak membatasi perempuan dalam pergaulan dengan cara cara demikian. Itu bukan etika pergaulan Islam. Itu adalah penjara yang diciptakan kaum lelaki untuk maksud tertentu.” ujar Widya.
“Lalu bagaimanakah perempuan dalam adab pergaulan yang semakin permisif ini menurutmu, Wid?” tanya Karlan. “Karena saya pikir dengan jalan seperti itulah perempuan akan terjaga dari pergaulan yang kotor dan selalu dalam kesucian. Lelaki akan segan dibuatnya serta hormat kepada wanita yang berlaku demikian itu.”
“Itu adalah pandangan yang harus segera dikikis habis. Kehormatan dan kesucian seseorang tidaklah harus ditentukan dengan ketertutupan dan pola pergaulan semacam itu. Saya kira demikian.” bantah Ratna.
“Kalau memang tidak, lalu?”
“Saya kira benar kata Ratna. Memang kita harus akui bahwa orang dalam memandang dunia ini terbagi menjadi dua yaitu ada dunia luar dan ada dunia dalam. Dunia dalam adalah dunia privancy, dunia perempuan. Oleh karena itu perempuan harus ditutupi. Para lelaki bilang bahwa sesuatu yang tertutup akan membuat hati jadi penasaran. Oleh karena itu perempuan harus ditutupi dengan peraturan peraturan, segala gerak harus dibatas. Sementara lelaki tak pernah diganggu gugat mengenai hal ini. Nampak sekali dalam perkawinan, perempuan dipilah pilah masih suci atau sudah tercemar, sedang laki laki tak perlu diuji akan kesucian dan kehormatannya.Hal itu tak masuk hitungan sama sekali. Ini dunia patrilineal yang sudah pasti menguntungkan lelaki. Lelaki menganggap penguasa dunia luar, dan keberadaannya selalu di luar. Di luar segala hal termasuk diluar batasan batasan yang ada.” kata Widya berapi api, sambil tersenyum sinis.
“Bukankah itu suatu kenyataan? Dan apakah perempuan akan cukup mempunyai kemampuan untuk melindungi diri dari pergulatan yang terjadi dalam dunia luar? Bukankah zaman telah membuktikan bahwa lelakilah yang selalu sebagai pelindung wanita. Dunia mana yang menempatkan wanita bekerja diluar atau katakanlah di luar rumah dan bergelut dengan alam yang keras? Jika hal itu yang terjadi maka akan segera berakhir dunia ini.” berondong Karlan.
“Inilah lagi alasan klasik lelaki menguasai perempuan dalam profesinya yang layak.” ujar Widya menarik nafas yang terasa sesak. Suasana malam semakin dingin, Pelayan Mbok Mul telah mengganti minuman mereka sesuai dengan pesanan. Makanan kecil telah bertukar dua kali hidangan. Kendaraan yang lalu lalang di jalan Malioboro mulai menyusut. Pembeli warung lesehan di sebelah mereka sudah lebih tiga kali berganti. Mbok Mul sudah terbiasa dengan rombongan Rahman yang ngobrol demikian lama, bahkan tak jarang dinihari menjelang lesehannya ditutup. Widya menyeruput air jahenya untuk mengusir dingin yang menggayuti tubuhnya.
“Saya boleh menyambung, Wid?” ujar Ratna
“O. iya silahkan.” kata Widya sambil merapatkan jaketnya.
“Begini. Saya kira kami para perempuan hanyalah meminta agar kami didudukkan dalam posisi yang layak sebagai manusia. Kami kaum perempuan bukan akan merebut dominasi kaum lelaki. Bukan sama sekali, dan saya pikir ini jelas. Perempuan dalam gerakan emansipasinya, saya pikir bukanlah akan merubah masyarakat dunia ini dari masyarakat patriakal menjadi masyarakat matriakal. Bukan begitu.” tegasnya.
“Lalu apa yang ingin diperjuangkan kaum perempuan? Bukankah dunia ini sudah adil menempatkan kaum perempuan melakukan pekerjaan yang sudah sesuai dengan kodratnya menjadi ibu rumah tangga, mendidik anak dan melanjutkan keturunan sesuai dengan kodratnya. Sedangkan laki laki bekerja di luar rumah, melakukan pekerjaan pekerjaan keras dan berat sesuai dengan fisiknya yang telah diciptakan demikian oleh yang menciptakan.” ujar Rahman.
“Apa yang Mas Rahman katakan memang benar demikian,” Ratna berusaha menjawab. “Tapi dalam perlakuan sehari hari dan apalagi dalam kehidupan modern ini, dimana banyak pekerjaan pekerjaan yang bisa dan lebih baik dilakukan oleh kaum perempuan, bukan lelaki.Tapi perempuan dalam memasuki pekerjaan pekerjaan itu tidak mendapatkan fasilitas gaji misalnya, yang sama dengan kaum laki laki. Perempuan selalu mendapat gaji dibawah kaum laki laki, walaupun perempuan bisa melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Ini apa bukan suatu diskriminasi?” tanyanya. sambil menatap Rahman dengan sorot mata penuh keyakinan. Rahman ditatp demikian merasa hatinya berdesir. Inilah tatapan Ratna yang paling menarik hatinya jika sedang berdebat. Lelaki manapun akan tertarik untuk berusaha memilikinya, pikirnya. Sorot mata tajam tapi nampak bagai sumur jernih penuh keteduhan pepohonan di atasnya yang rindang dan airnya jernih memancar. Bagaikan sumber ilmu yang takkan pernah habis ditimba oleh siapapun juga. Getar getar halus menyelusup dalam kalbunya.
“Ya saya kira hal itu yang harus kami perjuangkan, Rat.” tambah Widya.
Dalam masalah yang demikian saya mendukungmu selalu, Wid.” ujar Karlan. Edi tak mau ketinggalan dan berkata, “Bukan masalah itu saja yang aku mendukungmu, Wid. Semua yang kamu lakukan aku akan mendukungnya.” Mereka tertawa kecil mendengar perkataan Edi yang diekspresikan dengan nada nampak bersungguh sungguh.
Malam semakin larut. Mereka segera bergegas pulang setelah membayar secukupnya dengan melebihkan ongkos sebagai kopensasi mereka duduk berlama lama di warung lesehannya. Mereka berjanji untuk bertemu lagi Sabtu malam di waktu dan tempat yang sama.
*****
Ratna sore itu datang ke rumah Rahman dengan membawa pohon bunga wijaya Kuswma dalam pot. Pohon bunga yang dijanjikannya kemarin untuk ditanam disamping jendela kamar Rahman. Dengan gerakan berjingkrak yang lincah, tangannya trampil mengaduk aduk tanah yang telah disiram. Tanah yang basah mengotori tangannya yang lembut. Rahman memandangnya dengan perasaan nikmat.
“Rat minumnya apa?” tanya Rahman. Keringat mulai membasahi raut wajahnya.
“Terserah tuan rumah aja.” jawabnya sambil mengurug lobang yang tadi digalinya untuk menanam bunga. Rahman terus ke dalam mengambil minuman.Tak lama kemudian Rahman membawa minuman air jeruk dengan ditemani makanan kecil dalam toples. Ratna selesai membereskan menanam wijayakusuma tak lama kemudian mencucui tangannya dan mengelap keringat dan tangan yang basah. Ia lalu duduk dekat Rahman, diteras samping rumah.
“Mengapa kau pilih wijayakusuma, Rat. Bukan bunga mawar atau melati misalnya.” tanya Rahman ingin tahu.
“Nggak apa apa. Hanya ingin saja. Tapi orang sudah banyak menanam mawar atau melati. Jarang yang mau menanam bunga ini,” jawabnya. Sorot matanya diarahkan ke bunga yang baru saja ditanamnya. Ada perasaan puas merona di wajahnya. Ketika itu nenek Rahman keluar dari rumah.
“Ee, jeng Ratna. sudah lama?” sapanya.
“Barusan saja, Nek.” sambut Ratna.
“Kok nggak di suruh masuk, Le.”
“Cukup, Nek. Di sini sudah cukup, Nek.”
Kemudian Nenek meninggalkan mereka berdua sambil berlalu pamit. Ada urusan yang harus diselesaikan di rumah tetangga.
Mereka menikmati sore yang cerah. Cinta mereka yang baru mekar ditandai dengan ditanamnya wijayakusuma. Bunga yang harum semerbak baunya yang biasanya muncul di tengah malam.
“Omong omong gimana latihan tahap lanjut yang baru kamu ikuti. beberapa hari lalu,” Rahman memulai pembicaraan kembali.
“Ya ada sedikit peningkatan yang aku rasakan, Mas,” katanya.
“Maksudnya.
“Lain dengan latihan dasar dulu. Latihan kemarin itu membawa sedikit pencerahan terhadap alam pikiranku yang selama ini memandang permasalahan masyarakat agama sebagai sesuatu yang sudah selesai, sejak para sunan menyelesaikan tugasnya tempo dulu.”
“Baguslah itu. Berarti latihan itu ada manfaatnya bagimu.” komentarnya.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”
“Kok pertanyaan begitu sih, Mas.” katanya,” nanti jadi serius,” Rahman tersadar. Teguran Ratna secara tak langsung selalu mengingatkannya untuk tidak selalu berfikir tentang organisasi dari hari ke harinya. Organisasi bolehlah tapi ada waktunya untuk perasaan yang lain. Dipandangnya Ratna dengan sorot mata penyesalan.
“Kalau begitu maaf dech.” Ratna tersenyum. Ada perasaan bangga dalam dirinya bisa menundukan orang seperti dihadapannya ini. Orang yang selalu berfikir organisasi dari hari ke harinya. Kadang Ratna membencinya. Seolah tiada perasaan untuk menuangkan kata kata indah dan menampungnya serta mengolahnya kemudian untuk dinikmati.
Senyum Ratna dirasakannya sebagai titik embun. Membawa ketentraman yang lama tiada dirasakan. Selama sebagai aktivitas. Rahman mengakui ketololannya selama ini. Ada dunia indah yang harus dirasakannya.
“Rat, nanti kalau Wijaya kusuma itu berbunga, bunganya untuk siapa? Ayo coba.” Ada nada menggoda dalam pertanyaan itu.
“Apanya?” Bunganya atau harumnya?” ledeknya pula. penuh manja.
“Ya kedua duanya.”
“Ya tidak bisa. harus salah satunya.” wajahnya mencemberut.
“Aku tak berhak. Itu kan bukan Wijaya kusumaku.” balasnya Ratna gelagapan.
“Lho gimana ini sih. Tadi yang bertanya kan Mas. Lagi pula ini pekarangan siapa?” Wijaya kusuma itu kan sudah kuserahkan kepada, Mas!” katanya sambil bersungut penuh kemenangan. Wajahnya yang manis menggoreskan keindahan yang alami.
“Ya, kalau begitu. Bunga yang akan datang milik kita! bukan?”
“Siapa kita itu?” katanya dengan nada cuek.
Debar jantung Rahman memburu. Ditatapnya tajam tajam wajah gadis dihadapannya. Ingin rasanya kau rasakan debar jantung ini, batinnya meronta ronta.
“Kalau ingin tahu, tataplah mata ini, Rat!” rajuknya.Wajahnya yang merunduk diangkatnya pelan pelan. Gemuruh di dadanya menggedor gedor. Tidak. Ini tak mungkin terjadi, jeritnya. Segera tangannya dijauhkan dari jangkauan tangan Rahman yang mendekat pelan pelan. Dengan gerakan yang tegas namun tidak meninggalkan kelembutannya ditolaknya rengkuhan tangan Rahman.
“Tidak, Mas!” serunya tegas. Ditekannya rasa sakit didadanya.
“Maafkan aku, Rat.” Rahman menyesali perbuatannya. Bukannya aku tak berani. Aku laki laki normal juga. Tapi memang sepantasnya ini kulakukan, katanya membatin. Ratna hanya mengangguk pelan, sepelan kata maafnya yang hampir tak terdengar.
Senja turun. Memerah di ufuk barat mulai menyembul di balik dedaunan. Sinar matahari yang melemah menyntuh pucuk pucuk pohan.
“Mari pulang ku antar, Rat,” ajaknya. Mereka segera berboncengan. Dalam perjalanan mereka diam, merasakan seolah olah mereka baru saja saling menyakiti. Andaikata mereka tadi saling melepaskan perasaan, tentunya akan lain terasakan. Getaran getaran jiwa yang paling halus tentunya akan saling bersentuhan dan membawa kedamaian. Tapi betulkah itu? Haruskah cinta dibuktikan dengan saling melepaskan perasaan? Tidakkah ada cara lain yang lebih sublim? Yang lebih menyentuh hakikat cinta yang tak terpenjara oleh persentuhan fisik?

******

KEENAM

Suara batuk nenek mengiringi keprak dalang Ki Narto Sabto di tengah malam yang semakin larut. Bunyi gamelan yang mengalun bersahutan dari bilik bilik rumah tetangga kanan kiri yang dipancarkan radio transistor masing masing. Seolah mereka bersaing. Udara cerah di luar dan bintang bertebaran, langit biru nan cantik menyemarakan malam minggu itu.
Dalang Ki Narto Sabdo memang dalang kondang di kawasan kesultanan, walaupun lebih kondang di masyarakat Jawa Tengah dari ujung timur sampai wilayah Kedu dan Banyumas. Orang orang Yogya memang lebih banyak yang fanatik kepada dalang kesultanan Yogyakarta, seperti, Ki Timbul Hadiprayitno atau Ki Suparman. Namun Ki Narto Sabdo merupakan kekecualian, satu satunya barangkali yang bisa menembus daerah kesultanan walaupun dirinya lebih terkenal sebagai dalangnya wong Jawa Tengah. Ketenarannya juga sudah menembus batas batas wilayah budaya dan propinsi. Di Jakarta nama Ki Narto Sabdo tak kalah dengan ketenaran seorang artis populer. Ia mampu menyedot banyak penonton sekaligus fansnya dimanapun ia ditanggap.
“Kek, jangan keras keras. kecilin dikit!” pinta nenek. Penyakit tuanya kambuh beberapa hari terakhir. Setelah ada beban yang selalu menghimpit kehidupannya. Buru buru kakek mengecilkan radionya.
Diantara salah satu pecinta dalang Ki Narto Sabdo di kawasan kesultanan adalah Kakek Narto. Demikian Rahman dan orang orang menyebutnya. Ia penggemar berat akan merdunya suara Ki Narto Sabdo yang mempesona membahana di tengah suara gamelan yang merdu. Petuah petuahnya selalu menyentuh dan panuh filosofi kehidupan kini yang semakin ganas. Ki Narto Sabdo selalu menyadarkan akan dirinya agar hidup penuh waspodo lan tata. Waspada terhadap nilai nilai yang sudah ada dalam diri kita agar tetap selalu terpelihara sebagai warisan adi luhung para leluhur.
“Le, kamu belum tidur?” tanya kakek pada Rahman yang masih bertekur di meja belajarnya.
“Nanti dulu, Kek.” jawab Rahman tanpa menoleh. Pandangan tetap terpaku pada buku dihadapannya. Belum mengantuk.” Suara gamelan dan keprak ki dalang yang riuh menandai hadirnya adegan goro goro. Adegan goro goro pertanda bergantinya suasana yang tadinya relatif damai beringsut ke arah anarkis, chaos. Keangkaramurkaan akan muncul untuk memperjelas kebijaksanaan dan kebaikan. Keburukan akan diperjelas nuansanya oleh kebaikan, kemarahan akan nampak hitam memerah di layar putih. Sementara itu tokoh tokoh hitam muncul mempertegas kehadiran tokoh tokoh beraliran putih pengemban dan pengabdi kebenaran. Maka berterimakasihlah kita ada tokoh hitam dalam kehidupan kita.Tanpa ada tokoh pembela dan pengabdi pada setan, dijamin dunia ini tidak akan ada kisah kisah perang suci, tak ada pahlawan. Oleh karena itu munculnya pahlawan dimanapun di atas dunia ini maka latarnya adalah situasi chaos dan banyaknya orang pengabdi setan.
Dengan goro goro maka dunia ini akan jelas kemana arah yang akan dituju perjalanan manusia. Ia mempertegas arus berjalan peradaban. Ia juga bandul pengingat manusia agar selalu berjalan lurus. Ia mempunyai sifat pembengkok tapi juga sekaligus penguji keberadaan peradaban manusia dalam bermasyarakat. Adegan goro goro itulah penentu peradaban kita, akan kita bersihkan dari virus penggerogot ataukah kita biarkan untuk menjadikan peradaban ini penuh pembunuhan, pemerasan, perkosaan, korupsi dan kolusi.
Terdengar dari arah dapur Kakek Marto sedang menyeduh kopi. Baunya segar menyebar di tengah malam yang terasa dingin. Udara malam segar dan langit cerah serta bintang bersinar sepertinya menyemburkan hawa dingin ke seantero jagat. Terasa segar penciuman Rahman oleh bau harum kopi seduhan Kakek.
“Le, pingin kopi, nggak?” Entar kakek buatkan,” serunya. Inilah kebiasaan kakek menawarkan pada cucunya membuatkan kopi. Sering Rahman risih dibuatnya. Tapi bila ia menolak justru kakeknya yang akan memarahinya.
“Tapi sebaiknya aku yang membuatkan kakek saja.”
“Kamu bagaimana sih, Le? kakek kan sudah buat duluan.”
“Waduh, repot amat sih, Kek!” seru Rahman melihat Kakeknya menenteng segelas kopi ke arahnya.
“Nggak!” jawabnya singkat.
“Ini yang terakhir kakek membuatkan kopi. Mulai saat ini Rahman yang membuatkan kopi kakek.”
Ah, kamu ini feodal amat, sih.” jawabnya bergurau.
“Bukan begitu, Kek. Tapi .....”
“Sudah jangan diperdebatkan ktu, Le.” potongnya sambil berjalan menuju kamarnya untuk melanjwtkan mendengarkan adegan goro goro.
Para punakawan keluar dengan banyolan banyolannya yang kadang menyikut kanan kiri para pejabat yang suka main perempuan, korupsi dan kolusi. Kakek paling senang jika Ki dalang menyindir pejabat yang selalu mengucapkan kata kata klise, serta jargon jargon politik. Kakek tahu persis sebagai orang yang pernah duduk dalam pemerintahan, penggunaan kata kata klise dan jargon jargon politik secara berulang ulang adalah dimaksudkan untuk mempertahankan kursi yang didudukinya. Barangkali pejabat pejabat itu tak pernah bisa membuat kata kata yang menyuarakan kemajuan yang progresif dan bernuansa semangat membangun. Barangkali para pejabat kita bisanya hanya menyerang kanan kiri terhadap orang yang menyuarakan aspirasi yang mencerahkan. Sedikit sedikit kiri, antek antek PKI dan sesekali ekstrim kanan, tanpa sedikitpun menyinggung ke arah depan, ke arah kemajuan bangsa ini.
Bagaimana bangsa ini bisa maju jika para pejabat sebagai motivator pembangun hanya menoleh kebelakang kemudian lebih banyak ke kiri dan kanan tanpa berani menatap ke masa depan? Jangan jangan mereka tak bisa menatap kedepan karena kemilau tantangan dan peluang yang tidak mampu mereka kerjakan. Kalau begitu lebih baik mundur saja dari jabatannya.
Rahman masih asyik dengan buku bukunya. Ia sedang mempersiapkan makalah untuk diskusi yang akan diadakan untuk menyambut tahun baru Islam. Ia akan menyajikan makalah tentang ide ide modernitas dan etos kerja menjawab tantangan zaman yang semakin tanpa tapal batas. Era informasi yang semakin pesat membutuhkan etos kerja yang kuat dan berwawasan international.
Islam sebagai agama yang akan membawa umat manusia ke arah kemajuan harus bisa membimbing para pemeluknya untuk menjadi khalifah di muka bumi ini sebagai perwujudan pengabdian kepada Tuhan.
Dalam makalahnya yang sedang direncanakannya itu, ia ingin mengungkap etos kerja dan semangat hidup para cendikiawan, pekerja, rakyat dan para pemegang kekuasaan di awal awal kebangkitan Islam di Jazirah Arab. Ia ingin mengetahui perasaan dan pikiran yang sedalam dalamnya manusia manusia pada saat itu untuk menemukan rahasia kunci pembuka kemajuan dan kebangkitan pada saat itu. Ini pasti ada, demikian keyakinannya.
Apakah kemajuan itu disebabkan oleh situasi zamannya yang kondusif untuk itu, manusianya, ajarannya ataukah hal lainnya? Tapi dari kesemuanya itu, ia yakin bahwa kunci kemajuan suatu peradaban yang bersinar adalah manusia yang berilmu pengetahuan. Hal ini ia yakini sepenuh hati. Sebab dari banyak literatur yang telah dibacanya, perpustakaan begitu lengkap misalnya pada saat Harun Al Rasyid. Para intelektual dan pendidik di hargai dengan selayaknya. Penerjemahan buku buku asing dilakukan dengan besar besaran.
Rahman merasa sumpek mengetahui hal ini berkaitan dengan keadaan yang kini sedang dihadapi oleh bangsanya. Buku buku bagus sulit didapatkan bahkan ada larangan terhadap buku buku tertentu yang mengupas sesuatu secara mendalam atau berbeda dengan pemahaman penguasa terhadap sesuatu masalah, para pendidik tak dihargai sebagai mana mestinya. Anggaran belanja negara sektor pendidikan hanya kurang 12 persen dari seluruh rencana anggaran. Bandingkan dengan negara lain yang serumpun semisal Malaysia atau Singapura. Mereka menganggarkan anggaran sektor pendidikan bisa mencapai dua kali lipat dari anggaran pendidikan negara ini. Ini sungguh memprihatinkan, gerutunya dalam hati.
Pikirannya semakin tenggelam akan keadaan umat Islam ini. Kalau bangsa ini maju pasti harus mengikut sertakan umat Islam.Umat Islam maju, maka bangsa ini akan maju. Tanpa berusaha memajukan umat Islam maka dapat dipastikan negara ini akan terus menjadi negara terjajah dalam bidang ekonomi ataupun peradaban dunia lainnya. Kuncinya adalah umat Islam.
Tengoklah sejarah masa lalu. Umat Islam dengan jelas telah mengambil peran dengan porsi yang besar terhadap penyelamatan bangsa ini dari penghancuran cita cita demokratis oleh golongan komunis baik tahun 1948-an maupun tahun 1965-an. Golongan komunis yang ingin menghancurkan sendi sendi religusitas bangsa ini. Ingin menghilangkan jejak Tuhan di pelataran hati sanubari rakyat bumi ini.
Suatu pikiran yang menegasikan peran Umat Islam sebetulnya hanyalah akan mempertahankan negara ini dalam kejumudan total. Adalah salah bahwa umat lain yang banyak menduduki posisi penting di departemen karena lobi mereka kuat terhadap penguasa. Yang benar adalah mereka lebih siap menduduki posisi posisi penting itu karena memang sumber daya manusia mereka yang lebih cocok dan lebih bagus kualitasnya. Jangan salahkan mereka, salahkan diri kita yang lebih suka kepada perdebatan halal haram, qunut, politik dan negara Islam. Kita harus alihkan perhatian dan pikiran pembangunan manusia Islam dalam bidang bidang yang dibutuhkan dalam menata kehidupan negara yang maju.
Kita jangan terjebak pada hal hal keagamaan saja, tulisnya.Ajaran agama memang harus kita pegang kuat kuat dan dijalankan dengan benar dan konsisten. Tapi jangan hanya itu yang kita lakukan. Saya yakin dengan menjadi birokrat yang baik, ekonomi yang benar dan pedagang yang jujur misalnya, maka kita sebetulnya telah menjalankan ajaran Islam yang benar dalam pengajaran. Islam ada dalam jiwa kita dan ituharus kita jalankan secara konsisiten, tegasnya mengakhiri tulisannya.
Rahman merasa puas dengan apa yang ditulisnya. Sayup sayup kokok ayam sesekali terdengar di sela sela orkestra gamelan yang menggemuruh menyertai adegan peperangan Raden Arjuna dengan Cakil. Peperangan yang selalu ada dalam pewayangan untuk simbolisasi adanya keburukan dan kebaikan yang selalu hadir di sisi kehidupan manusia.

*******



KETUJUH

Tubuh tua yang sudah tak bertenaga terbaring di pembaringan yang terasa pengap, sangat kontras dengan suasana rumah sakit Sarjito yang teboknya putih cerah. Nafasnya tinggal satu-satu. Tubuhnya dibalut kulit yang keriput. Wajahnya yang pucat hari terakhir ini semakin pucat, nampaknya ada beban berat bergayut di wajahnya. walaupun masih mengguratkan wajahnya yang cantik dan berwibawa , namun beban itu tetap saja nampak . Sudah dua minggu lebih ia menjalani perawatan di rumah sakit itu.
Wanita yang sejak muda gesit dan tangkas, lincah semanak, sesosok wanita yang lembut namun keras serta pandai mengatur rumah tangga. Karena sikapnya itulah , ia bisa mendorong suaminya yang dari kalangan rakyat biasa dapat menduduki jabatan wedana di pinggiran selatan Yogyakarta. Suatu jabatan yang terhormat lagi sangat terpandang saat itu. dan bila tak ada malapetaka yang menimpa salah satu keluarganya, bisa di pastikan ia bisa mendorong suaminya pada jenjang karir yang lebih tinggi, Namun takdir berbicara lain. Manusia hanya bisa berusaha, Tuhanlah yang menentukan. Itulah prinsip yang di pegangnya setelah kejadian yang memilukannya yang penuh liku, semak dan onak serta jurang kerikil yang tajam. Mereka sekeluarga bisa melewati jebakan dan ujian yang berat, namun sebagai manusia kadang perasaan bertentangan dengan takdir yang menimpanya muncul juga.
“Sudahlah, Bu!” kata lelaki tua yang tak lain, Kakek Marto di bibir pembaringan kepada istrinya yang sudah tak berdaya. “Kita sudah tua. Tinggal pasrah kersaning Gusti Kang Murbeng Dumadi, Bu. “ Wanita tua di pembaringan , istri kakek Marto hanya bisa menatap kata-kata suaminya itu.
“Tak usah di sesali masa yang sudah terjadi,” lanjutnya sambil memijit-mijit tanganya yang semakin tiris dan dingin. Wanita tua itu hanya menganggukan kepalanya hampir tanpa gerakan. Matanya hanya mengeriap, tanda mengenyakan perkataan suaminya.
“Mana anak-anak kita, Pak?” Nenek Marto menanyakan anak-anaknaya yang tinggal di Jakarta, Palembang dan Ujung Pandang.
“Ini saya, Bu! Aning !” bisik Suryaningtyas, putri kedua yang tinggal di Jakarta.
“Datang kapan kamu, Nduk?” tanyanya pelan. Matanya menatap putrinya, kemudian mencari sesuatu.
“Barusan, Bu!” jawab Aning pendek.
“Mana suamimu dan anak-anak?” Pandangan yang semakin lemah mengitari kamar.
“Anu, Bu. Mereka belum siap, barangkali besok.”jawabnya. Dirinya merasa menyesal tidak bersama suami dan anak-anak. Tadi setelah sampai di rumah, ia langsung berbenah sebentar dan kemudian berangkat ke rumah sakit. Perasaan rindunya dan iba pada ibunya yang sedang sakit keras buru-buru ingin menjenguknya secepatnya. Anak - anak dan suaminya akan menyusul kemudian dan tanpa di tanya lebih lanjut untuk mengurusi perasaan sesalnya, ia berkata “Mereka sehat, Bu. “
Nenek Marto sedikit lega mendengar kabar dari anaknya.
“Mana Ratna dan Dianing, Pak?” tanyanya kemudian
“Mungkin baru besok pagi, Bu. Rahman telah terima interlokal semalam. Mereka mengabarkan akan tiba besok pagi.”
“Rahman mana, Pak?” tanyanya kemudian. Emosinya meluap ingin memendang semua anak dan cucunya. seperti hari akan segera berakhir. Ada perasaan khawatir juga pada diri kakek Marto dan Aning.
“Berangkat kuliah, Bu,” kata Aning menjawab pertanyaan ibunya, mengambil alih jawaban bapaknya.
Tubuh si sakit menggigil. Aning segera memberikan selimut tambahan secara sopan . Ditutupinya kakinya dan dipijitnya pelan-pelan. Walaupun selimutnya sudah cukup tebal menutupi tubuhnya, masih terasa dingin. Perasaanya semakin terenyuh mendapat kenyataan ibunya dalam keadaan demikian. Menurut analisa dokter, penyakit ibunya sudah sangat kronis. Lever dan maagnya menyatu menggrogoti tubuhnya yang semakin mengurus
Seorang suster masuk akan memandikan si sakit. Sebelumnya diperiksa suhu tubuhnya, mengetahui bahwa si sakit demam, ia urung memandikanya. Tidak seperti biasanya, si sakit hanya di kompres bagian mukanya saja. Dengan trampil dan gesit, suster mengkompresnya. Tangan terlatih dan trampil bekerja dengan sangat efisien. Dalam waktu hanya beberapa menit selesailah suster mengkompres, menyelimuti kembali si sakit.
* * *

Udara pagi semakin hangat dengan semakin meningginya mata hari. Angin berhembus menyegarkan, menyentuh pucuk-pucuk cemara yang jangkung menyundul langit. Kabut tipis semakin tipis terkikis terbawa arus semilir angin yang membawa kesejukan. Burung-burung sriwiti meliuk-liuk di langit biru mempermaikan angin yang berhembus. Nampak ceria sambil mencicit bersenda gurau. Burung - burung gereja bertengger di atap-atap rumah sakit, mereka mencicit dan kemudian berhamburan. Setelah situasi agak aman, mereka segera turun mencari sisa - sisa makanan yang jatuh di pelataran rumah sakit. Ketika orang lewat, burung - burung itu berhamburan kembali, mencericit terbang lalu bertengger kembali di atap - atap yang aman.
Di kejauhan utara, gunung merapi tegar berdiri, setegar penjaga keraton Mataram yang setia. Udara yang cerah menjadikan punggung-punggung Merapi nampak kebiruan. Asap yang keluar dari kawahnya bagaikan segerombolan burung bangau sedang migrasi. Asapnya mengepul membumbung putih bagai kapas denagan langit biru cerah sebagai latarnya.
Pagi itu nenek Sumatro kelihatan segar. Ditatapnya kebiruan punggung bukit Merapi, menyegarkan ingatannya pada masa kanak-kanak, masa remaja yang penuh ceriah bersama kawan-kawan yang aktif di kepanduan . Rasa bahagia siolah kembali menyelimuti tubuhnya, menbuat tubuhnya segar.
Waktu jenguk tiba, terdengar suara Rahadi, suami Aning bersama dua anaknya, Ridwan dan Sulistyo memasuki kamar 187, tempat perempuan mertua di rawat. Aning dan kakek Marto menyambutnya. Dengan takzim, ia menguluk salam kepada mertuanya. Disuruhnya anak -anak untuk memberi salam juga sambil mencium tangan pada kakek neneknya, Nenek Marto agak ceria melihat cucu cucunya sehat -sehat dan lincah . Kehangatan menyemburat di sela sela sunyumnya menyambut mantu dan cucu- cucunya.
Tak lama kemudian Rahman dan Ratna datang menyempatkan diri di waktu tak ada kuliah. Mata nenek Marto berbinas binar menyambut kedatangan Ratna. Hatinya selali tentram jika bisa melihat Ratna. Ada berjuta harapan tertumpah akan kebahagiaannya masa depan cucunya. Ratna, gadis yang cantik, tingkah lakunya sopan, penuh pengertian. Namun demikian harapan yang muluk muluk terhadapnya kadang hilang tertimpa bayang bayang yang sungguh menakutkan. Mengingat akan bapak Rahman.
“ Sudah agak baikkan, Nek.” sapa Ratna dengan senyum mengembang, dianggukkannya kepalanya.
Untuk menghibur, Ratna bercerita macam-macam yang menghibur nenek. Cerita-cerita lucu muncul secara spontan dari Rahman, Rahadi dan kakek Marto secara bergantian, susul menyusul diselingi gelak tawa, menambah suasana segar.
Keceriaan itu tak berlangsung lama, waktu jenguk tak berasa hanya beberapa menit saja. Seorang suster dengan ramah meminta menunggu pasien hanya boleh dua orang saja, selebihnya diharap meninggalkan kamar si sakit. Melalui sedikit perbantahan, karena mereka saling ingin menunggui, akhirnya Ratna dan Rahman yang menunggui si sakit.

********
Senja turun menyelimuti kota Yogya yang semakin berdebu setelah seharian di bakar matahari. Kereta kuda menyusuri jalannya dengan bunyi kelenengan, sesekali bunyi belnya berdering, nyaring menyuruh pejalan kaki agar lebih minggir jalannya. Kusir kereta kuda yang sudah berkeriput kulit wajahnya nampak setia memegang kendali kudanya. Bajunya yang coklat bergaris hitam dengan blangkon yang sedah kabur warnanya menambah kesan tua.
Dengan kepala yang terantuk antuk seharian mengandalikan kudanya, ia berdesis dengan diselingi suara cek-cek seolah memberi semangat pada kudanya agar semangat melaju. Sebilah pecut melengkung di depan agak ke kanan tertiup angin lajunya kereta meliuk-liuk bagaikan penari ronggoeg. Kepala kusir tua itu terantuk - antuk seharian mencari penghidupan yang semakin menyesakkan nafasnya. Ia dan rekan-rekanya selama ini menghiasi jalan Yogya yang telah menyedot jutaan wisatawan harus bersaing dengan asap debu jalanan yang dihentakan mobil penumpang buatan Jepang.
“Jepang ini memang kurang ajar! Dulu menginjak-injak kemerdekaan, kini menyumbat nafas dengan debu jalanan,” gerutunya setiap kali colt penumpang menyemburkan asap debu knalpotnya. kudanya terbatuk.
Awan mengantung dan sosok gunung Merapi kabur diselimutinya. Satu dua rintik hujan telah menyentuh tanah yang berdebu. Kusir kereta mempercepat lajunya kereta, sepertinya berbalap dengan sepeda ontel. Mahasiswa yang berjalan kaki memperpanjang langkahnya. Mereka buru-buru ingin cepat sampai tempat tujuanya.
Di rumah besar jalan Pringgondani, telah berkumpul Ratnaningtyas datang bersama anaknya yang bungsu, Anton dari Palembang, suaminya tak bisa menemaninya, ada urusan penting di kantornya. Sementara Dianingtyas hanya sendirian dari Ujung Pandang karena anaknya yang bungsu kurang sehat.
Habis magrib, keluarga Sumarto berkumpul di ruangan makan. Mereka akan makan malam bersama. Nampak Rahman dan Ratna duduk berdampingan. Mereka berdua menjadi pusat perhatian dalam keluarga itu. Maklum, Aning dan adik- adiknya serta keponakanyabaru saja mengenalnya. Ratna sedikit tersipu menjadi pusat perhatian. Penanpilannya yang lembut, tutur katanya yang halus namun lincah menjadikan dirinya segera disenangi oleh mereka.
Di meja makan terhidang gudeg yang masih hangat, opor ayam dan ada juga ikan goreng. Tempe goreng kesukaan Kakek Marto tak ketinggalan terhidang dengan sayur kangkung kesukaannya.
Sambil menyantap hidangan, mereka bencengkrama dengan menanyakan keadaan keluarga masing masing. Sudah lebih dari setengah tahun mereka tak bertemu muka. Mereka bertemu untuk terakhir kalinya ketika lebaran lewat. Rasa kangen dan rindu selama ini, terobati dengan menanyakan kesehatan, cuaca dan kejadian-kejadian kecil lainya, baik dalam keluarga maupun dalam pekerjaan.
Ratna merasakan kehangatan keluarga Sumarto. Mereka sangat akrab dan penuh kekeluargaan. Sesekali Ratna nimbrung dalam pembicaraan mereka. Tutur katanya yang lembut dan ceria lebih menghangatkan suasana pertemuaan.
“Man, bagaimana perkembangan organisasimu sekarang ini ?” tanya Rahardi membuka percakapan. Rahardi semasa mahasiswa juga aktif diorganisasi Islam yang kini dimasuki Rahman. Dengan pertanyaannya itu, bukan saja ingin mengetahui kegiatan Rahman. Tapi juga ingin bernostalgia dengan aktivitasnya dulu. Kini dia menjadi wartawan harian yang cukup berpengaruh di ibu kota.
“Persiapan kongres di Purwekerto, Lik !”
“Kira kira kamu bisa jadi ketua umumnya, nggak?” tanya Ratna ningtyas agak kekanak-kanakan. Sementara itu kakek Marto menyulut kreteknya. Dianing dibantu Ratna membereskan peralatan makan. Ridwan dan Anton menonton TV di kamar depan.
“Masalah itu nanti, Lik. Yang terpenting sekarang ini saya harus kosentrasi agar kongres sukses penyelenggaraannya dan ...”
“Sukses kamu jadi ketua umum,” potong Ratnaning menirukan perkataan para pejabat di TV, membuat mereka tersenyum senyum.
“ Omong-omong organisasimu yang mana, nich. Yang menolak Pancasila sebagai satu-satunya azas organisasi atau yang menerima ?” tanya Rahardi.
“Ya, di sini mahasiswa Islam tentulah yang pertama itu.Yang menolak !” jawwab Rahman. Ada rasa khawatir timbul dalam hatinya. Jangan-jangan ini akan menjerumuskan cucunya kedalam lembah kehidupan. Sebabnya, ini persoalan politik. Siapa yang bisa mengalahkan siapa. Dan biasanya yang menang, bersikap sewenang-wenang. Nalurinya sebagai mantan wedana bilang, jika cucunya ikut-ikutan menolak asas tunggal, maka akan terjadi hal yang mengerikan. Ia merasa ngeri membayangkan hal itu. Untuk mengusirnya, kakek Marto bertanya,” Bagaiman kalau kamu, Le?”
“Menurut logika, penerapan atau lebih tepatnya pemaksaan pelaksanaan undang undang itu adalah suatu proses penyegaragaman total. Padahal kita sudah mengetahui bersama bahwa kita mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan itu jelas jelas mengakui perbedaan. Lalu mau kemakan semboyan itu ?. Lagi pula, Islam itu bukan hanya sekedar agama, tapi juga sistem peradaban seperti pernah diakui seorang orientalis. Seperti juga dikatakan, Islam itu bukan hanya sistem teologi, tapi juga ideologi, way of Lite,” katanya mantap. Kekhawatiran kakek makin memuncak, seperti juga dirasakan Ratnaning. Rahadi hanya agak samar-samar memahaminya. Akan tetapi kekhawatiran mereka tak ditampakkan.
“Apa itu sudah kamu pikirkan masak-masak, Le ?” Rahman merasakan ada sesuatu yang terkandung dalam pertanyaan kakek. Ada keinginan menanyakannya tapi terasa agak kekanak kanakan, ia mengurungkannya. Ia hanya menjawab, “Tentu, Kek.”
“Barangkali begini, Pak!” Raharji ingin menjelaskan jawaban Rahman. “Jika Pancasila dijadikan sebagai satu satunya azas organisasi maka dengan jelas akan menghalangi orang orang yang sama keyakinannya untuk mengelompok sesamanya berdasarkan keyakinan, termasuk agama yang dianut masing masing. Dalam kerangka ini, terlihat nyata, pelaksanaan undang undang tersebut mengandung unsur paksaan. Dan segala apa saja yang dipaksakan tentunya tak baik, bertentangan dengan cita cita demokrasi yang ingin kita bangun di negeri ini.”
“ Ya, itu bisa saja sebagai alasan.Tapi bukankah kita sepakat bahwa segala sesuatu itu harus ada peraturannya. Saya kira maksud pemerintah tidak jelek dan tak ada unsur paksaan dalam hal ini.” kata Dianing yang baru duduk setelah selesai membereskan peralatan makan mereka. Sebagai pegawai pemerintah di suatu departemen, ia mengetahui juga tentang hal itu walaupun samar-samar Kalau memang tidak ada paksaan, tentunya jangan dikatakan asas tunggal, satu satunya asas organisasi yang ada di negeri ini. Perkataan satu satunya asas bagi semua organisasi kemasyarakatan, jelas mengandung unsur paksaan,” serang Rahman.
“ Tapi begini, Le.” seru kakek Marto,” dulu. sewaktu kamu belum lahir, negera ini mempunyai banyak partai politik dan asas organisasinya atau ideologi organisasinya berbeda beda, bermacam macam. Apa yang terjadi ?” tanyanya. Pandangan berpindah dari raharji ke Rahman.”Isinya hanya gonthok-ghonthokkan, ribut melulu” lanjutnya.
“Ya, jangan samakan dulu dengan sekarang, Kek,” bantah Rahman. “ Dulu orang berpendidikan sangat sedikit dibanding sekarang. Dilihat dari sudut ini saja sudah berbeda.”
“Lho jangan samakan bagaimana ?” tanya Ratnaning. Sebagai seorang guru, ia mengetahui sejarah Indonesia tahun 1950-an. Tahun banyaknya partai dengan azas atau ideologi yang berbeda beda. Kerjanya hanya ribut tak sempat memikirkan masalah pembangunan, jadinya rakyat sengsara dan menderita. Sekarang ini, dengan azas tunggal itu agar kita tak ribut melulu dan kita bisa memikirkan masalah pembangunan dengan tenang. Sehingga diharapkan rahyat akan sejahtera,” tegasnya penuh semangat seolah olah sedang menerangkan pelajaran di kelas.
Ratna hanya diam saja sejak tadi. Ia menyimak perdebatan itu. Ada perasaan tak enak jika ia ikut terlibat. Pertama, ia baru kenal akan mereka, sehingga tak mengetahui sifat-sifat mereka, dan kedua ia kagum akan suasana yang demokratis yang memancar dari keluarga itu.
“Tapi coba kita pikir secara jernih. Dengan diberlakukannya azas tunggal itu, sebetulnya bukan dimaksudkan untuk menghapus pertentangan azas atau ideologi partai partai. Apalagi kita hanya punya dua partai, dan satu partai yang tak mau disebut partai, yang satu partai itulah yang kini berkuasa, menjadi partai penguasa tepatnya. Yang bisa berbuat sesuatu sekehendak hatinya penguasa.
Dulu memang benar pernah terjadi pertentangan antara partai karena ideologinya berbeda beda. Hal wajar saja sebetulnya karena terjadi ketika kita berdiri sebagai negara baru sehingga perlu mencari format yang tepat bagi bangsa ini. Dan itu pelajaran yang berharga. Tapi coba apa sekarang ada pertentangan ideologi negara, mereka sudah sepakat bulat tentang hal itu ?.
Tiba-tiba saja masalah azas tunggal dimunculkan. Ini pasti ada maksud tertentu di belakang hal itu. Menurutku, hal ini dimaksudkan agar pengundangan azas tunggal ini menjadi masalah yang akan menggeser permasalahan yang perlu segera diselesaikan saat ini, misalnya, kesenjangan sosial dan ekonomi si kaya dan si miskin. Masalah utang luar negeri yang semakin menumpuk, masalah kemiskinan yang tercatat kurang lebih 35 %, masalah korupsi dan kolusi yang terjadi di perusahaan-perusahaan negara dan lain-lain Masalah yang memusingkan penguasa berhubung semakin menguatnya tuntutan masyarakat akan hal itu agar segera diselesaikan.” urai Rahman meyakinkan.
“Apa itu artinya kamu menolak Pancasila ?” tanya Dianing.
“Jangan keliru. Saya kira, Rahman dan saya tidak menolak Pancasila. begitu kan, Man?” sahut Rahardi cepat sambil bertanya pada Rahman. Rahman menyetujuinya. “ Inti persoalan ini adalah pada proses pemberlakuan undang-undang tersebut. Pancasila sebagai ideologi negera kami terima dengan setulus hati. Pancasila sudah terbukti sangat efektif dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang serba multi ini. Tapi kalau Pancasila disekralkan dengan cara menjadikan azas tunggal agar menjadi azas semua organisasi, jelas kami tolak. Sebab itu berarti mematikan paham-paham yang ada untuk bisa berkembang, yang bisa memperkokoh kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara,” jelas Raharji.
“ Tambahan lagi,Pancasila tetap eksis sebagai ideologi negara karena ditopang oleh azas azas atau ideologi-ideologi organisasi yang ada di negeri ini. Keanekaragaman azas organisasi bukan untuk menggrogoti Pancasila, tapi justru akan memperkuat.”
“Lagi pula jika azas tunggal itu tetap diberlakukan apalagi dal;am pemberlakuannya memakai kekerasan politik atau politik kotor hal itu akan menyebabkan kekecewaan di sana sini. Akibatanya lebih jauh akan munculkan benih benih permusuhan baru. Selain juga tindakan memusuhi negara dengan berselimutkan Pancasila, atas nama Pancasila.”tambah Rahman. Kakek Marto sedikit lega mendengar perkataan yang terakhir itu. Ternyata dugaan awalnya keliru, cucunya ternyata tetap mendukung Pancasila sebagai idiologi negara. Kekehawatirannya bahwa cucunya telah diracuni faham-faham ekstram tak terbukti.
Jam dinding berdentang sembilan kali. Rahman minta diri untuk mengantarkan Ratna pulang. Ratnaning dan Dianing diantar Rahardi pergi kerumah sakit untuk menunggui ibunya. Mereka berencana menginap di rumah sakit menggantikan Aning yang sudah menungguinya sejak pagi tadi. Kakek Mrto malam itu tidur di rumah, sebelum tidur ia menemui cucu-cucunya menonton televisi.
***********


Suasana di luar mendung, tak satu binatang pun muncul menampakkan. Angin tiada bergerak mengipas malam, menjadikan udara lembab. Rintik hujan tadi sore hanya beberapa yang jatuh. Cahaya kemerahan sesekali menyembul dengan disertai asap putih dari puncak Marapi.
Burung tlepukan bertenger di pohon mangga samping rumah. Matanya mengintai serangga yang berkitar didahan kering. Dengan satu gerakan, mampuslah seekor serangga dicepit peruhnya yang kukuh. Ditelannya serangga itu dan kemudian bersiul bagaikan memanggil-manggil dewa kematian. Siulnya melingking tinggi dan menyayat-nyayat.
Bila burung tlepukan bersiul demikian maka tanda akan ada kematian seperti telah menjadi kepercayaan umum masyarakat. Makanya, orang yang percaya akan hal demikian, akan segera mengusirnya dari tempat itu, dengan pengharapan agar dewa kematian menjauh.
“Heeh, pergi !” serunya mengagetkan cucunya yang setengah mengantuk.
“ Ada apa Kek ?” tanya anton penasaran. Dibiarkannya rasa ingin tahu cucunya. Diambilnya senter. Kakek keluar dengan diiringi cucunya yang masih penasaran. Burung tlepukan masih juga bersiul. Siulannya panjang-panjang dengan nada memilukan.
“ Hush .. hush ! pergi ..pergi !, sana makan tai dibalong.” Usir kakek Marto geram. Tlepukan itu berkepak gesit disela-sela ranting pohon mangga. Para cucunya heran mendengar umpatan kakek yang begitu jorok. Ucapan yang tak pantas diucapkan oleh seorang kakek di depan cucu-cucunya. Mereka terheran-heran.
“ Kakek jorok, ah!” seru Ridwan protes. Kakek Marti mengerti protes cucunya yang belum memahami ucapannya. Memang , menurut sebagaian masyarakat, apabila kita mendengar siulan burung tlepukan seperti itu maka kita harus segera mengusirnya dengan umpatan seperti itu. Jika tidak maka kematian akan terjadi didaerah sekitarnya. Dengan umpatan itu maka diharapkan burung itu akan terbang dan tak kembali lagi sehingga kematian di daerah sekitar tidak akan terjadi.
“Ach, masa begitu,Kek?” celetuk Ridwan.
“Masa, kematian bisa begitu saja diusir!” tandas Sulistyo. Kakek Marto tak menanggapai rasa penasaran para cucunya. Mereka pasti akan mengetahuinya suatu saat nanti. Maklum belum bisa menangkap akan pelambang alam. Seperti juga dulu dialaminya sewaktu remaja yang tidak percaya akan segala hal yang berbau takhayul.
Tapi sebenarnya, ada gunanya juga kita bisa membaca perlambang alam, sebabnya, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan tidak sia-sia. Semua harus dibaca oleh manusia sebagai pelajaran dalam menempuh jalan kehidupan ini. Manusia tidak perlu menjadi hakim bagi dirinya sendiri, apakah yang dibaca salah atau benar. Salah benar tak penting lagi sebetulnya, yang lebih penting adalah niat. Niat akan membaca tanda-tanda yang terhampar dihadapannya. Mengusahakan secermat mungkin agar bisa membaca dan menangkap perlambang alam yang hadir di hadapannya dengan benar.
Mereka segera masuk rumah kembali setelah burung tlepukan terbang jauh dengan menyisakan rasa penasaran. Para cucunya penasaran akan ucapan kakek, sedangkan kakek penasaran sekaligus khawatir akan istrinya yang sedang dirawat di rumah sakit.

*******









KEDELAPAN

Pikirannya melayang menemui masa-masa sulit zaman penjajahan, masa cintanya yang membara saat pertemuan pertama dengan suaminya,suaminya Sumarto Siswomiharjo yang penuh pengertian, tapi juga tegas dalam sikap, tekun meniti karir dengan sabar dan penuh tanggung jawab. Masa-masa yang penuh dengan kelimpahan penghormatan, sanjungan dan segala yang bisa dapat dengan sekedar satu dua kata perintah.
Angannya juga melayang pada masa-masa tahun setelah suaminya turun dari jabatan, yang tepatnya diturunkan dari jabatannya, merupakan masa pahit yang telah dapat dilaluinya dengan tenang. Suaminya yang tak sedikitpun terkena virus post pomer sidrom. Sejak saat itulah dirinya mulai menjalani lorong-lorong kehidupan yang penuh intrik dan fitnah. Tetangga tetangganya yang dulu begitu hormat, berbalik mencurigai, teman temannya yang penuh loyal dan penuh kehangatan berubah dengan kejam menjadi ancaman.Mengancam dirinya, keluarganya dan seluruh keturunannya dalam pentas kehidupan ini. Cibiran dan sindiran setiap hari ditelannya dengan penuh kesabaran. Intrik dan fitnah setiap hari hadir dihadapannya.
“Haus,” keluhnya pelan. Napasnya tersengal. Aning segera mengambil air, dituangkannya air itu ke sendok. Dengan pelan air itu didekatkannya ke mulut ibunya. Tiba tiba nafasnya menyentak menumpahkan air pada sendok itu, menghambur ke sprei. Tubuhnya bergetar, bibirnya kemudian terkatup.
“Tidak. Aku harus membuka rahasia ini sebelum ajalku menjemput,” batinnya meronta.
“Rahman belum dewasa betul,”
“Tapi ini kesempatan terakhirku.”
“Ia sedang menikmati hidup ini. Ia sedang bahagia. Ia tak boleh diberi tahu apa yang sebenarnya. Nanti, nanti kalau kalau sudah waktunya.”
“Jika demikian aku akan mati dalam kebohongan.”
“Kebohongan suatu kali diperlukan demi tujuan yang baik.
Justru agar tak merusak rencana meraih masa depan.”
“Namun bagaimana akan merencanakan masa depan dengan landasa ketidaktahuan masa lalu? Suatu hal yang naif. Ancangan yang salah mana mungkin bisa mencapai tujuan masa depan yang menjanjikan.
“Tidak! Kamu telah berbohong. Berterus teranglah.”
“Bayangkan, jika kamu kini berterus terang maka kemungkinan terburuk yang akan terjadi, Rahman akan frustasi dan bisa bisa ia memutuskan keluar dari kuliahnya, diputus oleh pacarnya. Maka akan segera tertutuplah masa depannya. Apa yang kamu persiapkan selama ini dengan suamimu akan sia sialah. Kamulah yang akan menanggung kehancuran cita cita cucumu yang telah dengan susah payah kamu bangun. Kamulah orang paling berdosa terhadap cucumu sendiri yang telah kau besarkan.”
“Dengan berterus terang maka aku telah membuang dosa dari buah kebohongan yang telah aku tanamkan, pupuk subur dan telah mendarah daging dalam tubuh cucuku selama ini. Aku tak mau mati dalam kebohongan .” batinnya.
“Kamu egois. Kamu takut dosa dengan cara mencelakakan cucumu sendiri.”
Pertentangan dalam batinnya terus saja berkecamuk. Tubuhnya yang semakin rapuh. Batuknya bertambah tambah, energinya terkuras perdebatan dalam dirinya, antara berterus terang dengan membiarkan saja kebohongan bertahta dalam kebesarannya.
“Tidak! Aku harus berterus terang,” batinnya lantang.
“Apapun yang akan terjadi.” tekadnya. Dengan kekuatan yang tersisa, dikumpulkannya kekuatan batinnya. Aning diminta mengumpulkan adik adiknya beserta Rahman. Kakek Marto merasakan bahwa ajal istrinya akan datang, sesuatu yang memilukan. Aning menurut apa yang diperintahkan, dalam pikirannya ibunya akan memberikan wasiat pada anak anaknya da Rahman dianggap mewakili orang tuanya.
Matahari lingsir ke barat, sore menjelang. Namun teriknya masih menyengat. Awan yang menggelantung di selatan kota berlahan bergerak ke tengah kota dan akhirnya memayungi seluruh kota. Panas bertambah, udara lembab menelimuti kota Yogya yang berdebu. Angin tiada berhembus sehingga menambah kelembaban udara.
Dianing bergegas menyusuri karidor rumah sakit. Ditemuinya dokter yang merawat ibunya. Dokter memaklumi akan keadaan si pasen dan diizinkannya sekeluarga untuk ke kamar rawat. Kakek Marto, Ratnaning, Dianing dan Rahman segera memasuki kamar perawatan.
Dengan sekuat tenaga, dikerahkannya seluruh kekuatan untuk menyambut kedatangan anak dan cucunya. Mereka berdiri mengelilingi ranjang perawatan dengan wajah tercekat. Dengan gerakan mata yang lambat, Kakek Marto disuruh untuk mendekatkan telinga ke mulutnya. Dibisikannya perkataan yang pelan namun tegas. Wajah Kakek Sumarto berubah memerah. Ada beban berat yang harus dipikulnya. Keraguan dan kebingungan nampak bergayut di wajahnya. Namun, ia tidak bisa menolak permintaan terakhir istrinya agar ia segera berterus terang menceritakan keadaan Rahman yang sebenarnya.
“Itu tak baik, Ba!” kata Kakek Marto perlahan. Aning,Ratnaning dan Dianing segera diberitahu akan apa yang dikatakan ibunya. Mereka terperanjat akan permintaan yang mengejutkan itu.
“Sebaiknya jangan dulu, Bu!! sarannya. Rahman tak mengetahui apa yang diperbincangkan mereka. Namun perasaannya bergetar sepertinya mereka membicarakan dirinya.
“Aku akan menyampaikannya suatu saat nanti, Bu.” kata Kakek Sumarto.
“Ti... dak, Pak. Aa..jalku ha..bis,” Kekuatan besar mendorong kata kata itu keluar. Nafasnya terputus putus. Mereka berpandangan. Ingin mencari jawab. Namun mereka tak satupun yang berani berucap untuk sebuah keputusan. Aning memandang bapaknya, mengharapkan suatu keputusan. Kakek Marto bertunduk. Rahman bertanya tanya dalam hati. Pikiran konyol hinggap di benaknya. Apakah nenek yang sedang menghadapi sakaratul maut itu akan meminta dirinya menikahi Ratna sebelum ia meninggal? Ataukah sekarang ia ingin menyaksikan ikrar janji mereka berdua? Rahman ingat betapa akrabnya Ratna dengan nenek. Ia sangat sayangkepada Ratna. Suatu kali nenek pernah menyampaikan harapannya, agar bisa menyaksikan perkawinan dirinya dengan Ratna. Nenek merasa sudah ada kecocokan dirinya dengan Ratna.
Aning memandang Rahman, keponakannya yang selama ini hidup dalam kebohongan kakek nenek dan bibinya. Rahman tak mengerti dipandangi demikian.
Dengan sorot mata yang melemah, dipandanginya Kakek Marto. Ia seolah meminta ketegasan dan keputusan yang harus segera dilaksanakan.
“Anak anakku dan cucuku, Rahman,” ujar Kakek Marto dengan suara bergetar. Nenek memperhatikan dengan sorot mata tanpa bergerak. Rupanya mereka telah sepakat untuk memenuhi permintaan yang terakhir.
“Begini cucuku, Rahman. Nenek dan kami semua ingin berterus terang kepadamu.” katanya terputus beberapa saat.
“Sebetulnya, orang tuamu, Sosrokartono, ibumu dan Saudara saudara kandungmu tidaklah meninggal karena kecelakaan. Akan tetapi oleh ...” suaranya mengguguk. Air matanya jatuh. Terasa berat mulut untuk meneruskan kata katanya. Aning, Ratnaning dan Dianing diam seolah olah beban berat menindihnya.
“Tapi apa, Kek?’ Rahman menyambar ingin segera tahu. Bagai petir menyambar. Kakek neneknya dan bibi bibinya selama ini tak pernah menyinggung ataupun mengungkapkan akan keberadaan dirinya. Tak sesuatupun yang nampak disembunyikan. Rasa bodohnya menyambar nyambar, ketidaktahuan atau kebodohannya melingkupi hatinya.
“Orang tua dan saudara saudara kandunganmu menjadi korban masyarakat yang mengamuk karena orang tuamu terlibat partai terlarang saat itu.” Kata Kakek Marto terbata bata. Rahman terpaku. Dipandanginya Aning, sepertinya mencari perlindungan. Dibayangkannya Ratna yang mungkin akan segera memutuskan perhubungannya. Organisasi terlarang yang selama ini dibencinya lewat pidato pidatonya di arena perkaderan seolah olah balas dendam kepadanya.
“Tidak, aku tak boleh cengeng, Toh yang terlibat orang tuaku,”batinnya menguatkan. Sementara kematian orang tua dan Saudara saudara kandungnya, toh selama ini sudah direlakannya, bagaimana dua caranya. Namun hati kecilnya merintih, membayangkan teriakan kesakitan bapak dan ibunya serta saudara saudaranya diamuk massa yang beringas waktu itu.
“Itulah permintaan nenekmu yang terakhir, agar aku berterus terang, cucuku.” Kakeknya mendekat, dipegannya pudak Rahman seolah olah menguatkan agar Rahman tetap tabah. “Maukah kau memaafkan kami, Man? “ tanyanya. Nenek juga memandangi Rahman. Suatu permintaan yang berat, namun segera dipahaminya.
“Kamu memberi maaf pada kami?” tanyanya kembali. Rahman mengangguk, senyum terkembang dari mulut neneknya. Beban kebohongan yang selama ini dikarangnya telah sirna. Dengan nafas sedikit tersengal diucapkannya nama Sang Pencipta. Nafas terakhirnya berhenti. Detak jantung penghabisan melambat dan akhirnya lenyap bersamaan gerimis merintik. Tangis meledak. Dan gerimis melebat turun bagai bidadari menaburkan bunga bunga menyambut kedatangan ruhnya kembali kehadirat-Nya. Inalilahi wain na lilallahi.
****

















KESEMBILAN

Seorang mantan demonstran didemonstrasi. Demikian laporan utama media massa ibukota yang terbit pagi hari. Rahman terpaku pada judul berita itu. Ada sesuatu yang menarik untuk membacanya lebih jauh. Selanjutnya media massa itu menulis, mantan demonstrasi itu pernah terlibat organisasi onderbouw partai terlarang sekitar tahun 1965-an.
“Menurut catatan yang ada, hitam di atas putih,” kata Kassospol militer!! Ia menjadi staf sekretaris perkumpulan catur tingkat remaja rukun kampung di desanya.”
“Apakah itu bukti yang cukup ?’ tanya seorang wartawan.
“Cukup apa ?” balik bertanya.
“Cukup membahayakan.”
“Lho?” Ini bukan membahayakan dan tidak membahayakan.”
“Lho, gimana sich, Anda ini rasa kebangsaannya.” tetap Pak Kassospol pada wartawan itu. “Sekali lagi ini bukti otentik keterlibatan dia pada organisasi terlarang.”
“Jadi kita harus mewaspadai setiap hal sekecil apapun. Pak?”
“Jelas, dong! Waspada setiap saat. Apa itu jelek?”
“Tindakan apa yang akan di ambil pemerintah selanjutnya?”
“Kita akan protes dulu.”
“Maksudnya, ia akan dipecat dari jabatan sebagai salah seorang dirut perusahaan milik negara, begitu, Pak?”
“Kita jangan mendahului, dong. Ini negara hukum. Semua ada aturan mainnya,” jawabnya diplomatis. “Kalau memang terbukti, tentu akan kita proses,” lanjutnya.
“Dipecat begitu?”
“Ya. Kemungkinan itu ada.”
“Tidakkah diperhatikan prestasinya sebagai seorang yang berhasil mengangkat perusahaan negara yang hampir bangkrut menjadi perusahaan negara yang paling banyak mendapatkan keunntungan ?”
“Lho gimana sih Anda ini ? Sekali lagi ini negara hukum”.
Siapa yang salah harus menerima hukuman yang setimpal. Aplagi ini menyangkut idiologi negara.” kata Kasospol dengan nada meniggi mengekspresikan sikap patriotisme yang tinggi.
“Betul ini persoalan idiologi. Tapi sejauh mana peran lembaga litsus. Padahal semua pejabat sudah litsus.”
“Tetap. Tetap penting.”
“Maksudnya, kok sampai bisa kecolongan begitu?”
“Maksudnya?”
“Kok tidak diketahui keterlibatan beliau sewaktu masih menjadi pegawai biasa?”
“Bisa saja, khan. Karena kecerdikan dia.”
“Berarti kerja lembaga litsus selama ini tidak maksimal?”
“Saya tak mengatakan seperti itu, lho. Tapi yang jelas seperti peribahasa, Kebbusukan walaupun disimpan serapi mungkin, bagaimanapun akan diketahui juga. Ini hukum alam yang tak seorangpun bisa mampu merubahnnya. Kita manusia hanya bisa berusaha, bukan ? Tapi, sudah sudah. Saya ada rapat.” Kasospol buru buru menuju mobilnya.
“Satu lagi, Pak!” buru wartawan.
“Saya harus rapat di mabes.”
“Bagaimana kalau beliau tak terlibat?” desak wartawan.
“Kita lihat saja nanti.” Kasospol segera menutup pintunya.
Sedan berarna hijau tua meluncur di jalan. Kasospol ini memang dekat dengan para wartawan. Pertanyaan paling kritispun akan dijawabnya. Rahman tercenung setelah membaca berita itu. Hatinya menjadi gelisah, dibacanya lagi kolom sebelahnya yang memuat tuntutan mahasiswa terhadap pejabat yang pernah terlibat organisasi terlarang.
“Pecat pejabat itu,” Demikian judul kolom yang dibacanya. Selanjutnya, koran itu menulis tentang Solidaritas Mahasiswa Muslim untuk Pembentukan Clean Goverment disingkat SOSIS MUNTUK CLEGOR. Mahasiswa dari berbagai kota bergabung didalamnya. Mereka berunjuk rasa di depan gedung DPR menuntut agar orang nomor satu di BUMN yang bersangkutan segera diseret ke pengadilan.
“Pemerintah bersih, harus”
“Bersih dari Korupsi”
“Bersih dari Kolusi”
“Dan bersih Diri”
Tulis salah satu spanduk.
“Waspadalah wahai ABRI, PKI tak pernah mati!” teriak salah seorang demonstran. Para anggota pasukan pengaman yang menjaga mereka, hanya melihat saja. Tanpa senyum, tanpa bergeming, bagai patung patung di candi tua yang penuh debu.
“Clean Goverment is not tuntutan” “But it is our need”
“PKI mati !”
“Islam, we are love you!”
“Allahu Akbar!”
Satu bait nyanyian dengan nada campuran pekik salam perjuangan bait kedua dengan suara bersahutan seperti dalam lagu Bob Geldof. Menyeruak. Gegap gempita dengan suara takbir bagaikan takbir bala tentara Rasulullah seketika perang Khandak.
Beberapa perwakilan mahasiswa memenuhi ruang sidang. Mereka menemui pimpinan fraksi yang ada. Sebagian mahasiswa menunggu diluar, tak bisa masuk semuanya.
Setelah ketua salah satu fraksi datang, segera para mahasiswa menyampaikan aspirasinya. yang didahului kata pembukaan.
“Selamat datang, adik adik pejuang. Kami dari Partai ... sangat salut atas kepedulian adik adik terhadap pemerintah. Bangsa ini jelas masih harus mempunyai suara suara kritis demi terwujudnya clean goverment. Baiklah, saya takkan bertele tele. Kesempatan ini adalah kesempatan baik untuk adik adik menyampaikan aspirasinya pada kami. Untuk itu kami persilahkan.”
“Terima kasih,” sambut salah seorang perwakilan mahasiswa. “Dalam kesempatan ini saya akan membacakan tuntutan SOSIS MUNTUK CLEGOR. Tuntutan itu adalah :
1. Agar pejabat yang terindikasi terlibat partai terlarang harus segera diusut dengan lebih teliti, dan apabila terbukti, segeralah seret ke pengadilan.
2. Kami menuntut agar badan litsus beranggotakan orang orang yang bersih, berkarakter, beristregitas tinggi terhadap bangsa dan negara serta agama. Anggota badan litsus tak cacat hukum dan idiologi serta disumpah dan lebih baik yang mempunyai kapasitas keimanan yang mantap sehingga pertanggung jawabannya tak hanya sekedar pada Pancasila dan UUD’45 tapi juga terhadap Allah Swt.
3. DPR harus lebih berfungsi dalam kontrol sosial dan politik serta moral para pejabat eksekutif. Peran DPR harus setara dengan para eksekutif.
4. Badan litsus harus lebih melebarkan perhatiannya juga pada nilai moralitas para eksekutif. DPR harus dibersihkan juga dari orang orang yang pernah terlibat organisasi terlarang.
Demikian tuntutan mahasiswa. Anggota DPR yang menerimanya menyampaikan terima kasih dan akan menindaklanjuti tuntutan itu. Rahman semakin pilu. Seolah dirinya yang didemonstrasi terbayang bayang menyaput pandangannya. Hancur, hancur sudah apa yang aku harapkan. Tapi tidak. Bukanlah aku mengejar impian impian yang berkembang di masyarakat kini. Aku bukan mereka yang berkeinginan lebih dari itu. Nilai nilai moral yang lebih tinggilah yang seharus nya menjadi impian impian dalam kehidupan ini.
Pergolakan batin terus saja menggayuti hingga matahari tinggi. Hari hari yang penuh kesibukan seolah mati diterpa derasnya galau hatinya setelah membaca berita koran. Percik percik dendam seolah mengepul ngepul menyundul langit langit hatinya. Dendam masa lalu, dendam pada asal usulnya yang tak sedikitpun dikehendakinya.

*****







KESEPULUH

Pergantian pengurus besar organisasi Islam dimana Rahman aktif tinggal beberapa hari lagi. Para katifis mahasiswa mempersiapkan diri untuk bisa tampil yang terbaik sehingga ada harapan masuk dalam kepengurusan pengurus besar. Para ketua cabang dan sekretarisnya melakukan lobi lobi yang instensif, kasak kusuk menyiarkan kebesaran dan jasanya serta kemampuan dan programnya. Apa yang menjadi kelemahan kepengurusan kini di kritiknya dan mengajukan alternatif perubahan yang mendasar.
Rahman yang selama ini menjadi ketua cabang Yogyakarta oleh aktivis akan diajukan agar bisa menduduki kursi pengurus besar. Syukur sykur bisa menjadi ketua umum.
“Ini berarti cabang organisasi kita dapat diperhitungkan,” kata Edi.
“Ya, betul. Aku melihat posisi Rahman tepat saat ini. Ia memiliki kapabilitas untuk itu. Lagi pula selama ini ketua pengurus besar didominasi orang orang Jakarta.Kita dari daerah harus dapat menyatakan bahwa kita ada dan mampu memegang tampuk pimpinan organisasi,” ujar Karlan.
“Jika itu yang terjadi maka secara tidak sadar kita telah mengembangkan emosi primordial. Organisasi kita tak mengenal primordialisme. Egoisme kedaerahan. Kita akan kembangkan emosi perubahan demi perubahan. Satu kunci untuk memenangkan masa depan adalah perubahan.” Raharjo membantah Karlan.
“Betul, perubahan. Tapi kan bisa perubahan itu dari sisi kepengurusan yang Jakarta sentris selama ini menjadi kepengurusan yang lebih adil dan desentralis,” Edi mengangguk menyetujui pendapat Karlan.
“Kamu jangan memandang suatu perubahan yang hanya dari satu sudut power saja. Sudut ini jika dipermasalahkan hanya akan membawa kita pada perpecahan. Jika sudut pandang ini dipakai, kita hanya menemui kutub kutub kekuasaan tanpa sinergi organisasi yang efektif dan efisien. Janganlah kita berfikir kekuasaan semata. Pikirkanlah hal hal yang lebih progresif. Dunia ini semakin sempit dengan hadirnya era globalisasi. Apa artinya bagi kita ?” Ini justru yang yang lebih penting saat ini.” kata Raharjo.
“Tapi harus diingat bahwa kekuasaan ini nonsen, kan?” Karlan menyeringai seolah mengejek pendapat Raharjo.
“Dan kekuasaan tanpa kemampuan semisal kemampuan manajerial dalam konflik yang ada dalam suatu organisasi itu kan mustahi.”
“Era kini adalah era kompetitif, bukan saja era globalisasi. Rumusan yang tepat barangkali era globalisasi yang ditandai oleh meruncingnya persaingan kompetitif. Siapa yang berkompeten dalam era ini, ialah yang berhak memimpin dunia,” kata Edi yang sejak tadi hanya memperhatikan kedua temannya berdebat.
“Tapi kompetensi saja saya pikir tidaklah cukup. Apalagi dunia kini penuh intrik dan berkuasanya materi dalam kehidupan kini semakin meluas,” bantah Karlan sambil menyulut kretek. Disedotnya dalam dalam, kemudian dihembuskan menjadi cincin melayang. Setelah itu dikatakan, ”Dan kini tidaklah mungkin berpolitik tanpa uang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa money politic adalah segala galanya saat ini. Segala hal sekarang bisa dibeli. Dalam urusan negara saja kursi bisa diperjual belikan apalagi urusan organisasi mahasiswa.”
“Betul katamu itu, Lan. Lha wong bisa diperjualbelikan. Coba itu doa politik, apa tidak diperjualbelikan dengan murah oleh orang yang mengaku dirinya ulama.” sela Edi. Kamar mereka tempat berkumpul dipenuhi tawa. Logat Tegalnya yang medhok keluar dari mulut Edi. Kehadiran Edi dalam setiap diskusi memang lebih sering menjadi bumbu. Walaupun pendapatnya tak begitu penting tapi kehadirannya membuat diskusi serius bisa berubah menjadi diskusi yang cair, mengasyikan. Kata katanya sering konyol dengan penyampaian yang tak kalah konyolnya. Tapi tak jarang memberi jalan keluar.
“Kita tak usah mengungkit ungkit masa lalu. Masalah kepemimpinan yang Jakarta sentris bukanlah menjadi masalah yang begitu besar dan tak perlu kita besar besarkan. Saya kok lebih setuju pada pendapat Edi itu. Dengan kompetensi itu kita bisa memenangkan masa depan. Tapi dengan syarat, kita harus berkopetensi dalam bidang kita masing-masing. Dan diantara kita juga diperlukan seorang generalis yang bisa memandang suatu masalah dari berbagai sudut, untuk kemudian bisa merangkumkannya serta mengimplementasikannya dalam roda organisasi,” kata Raharjo.
“Betul. Apalagi kita profesional dalam bidang masing masing maka apa jadinya umat Islam sepuluh atau dua puluh tahun lagi.” ujar Edi.
“Kita tak hidup dalam bayang bayang masa lalu. Organisasi kita tidaklah akan menjadi bayangan dari masa lalu. Kita tahu generasasi tua telah beraktualisasi diri sesuai dengan tuntutan zamannya. Mereka berjuang dengan banyak yang berkibar dalam pentas politik nasional bahkan international. Dan itu memang pilihan yang tepat karena zamannya menuntut hal demikian. Dan saya kira, kini kita harus mengadakan transformasi organisasi.” ujar Raharjo berapi api, seolah merangkum pembicaraan. “Coba bayangkan bila kita selalu berkutat pada masalah politik saja. Siapa yang akan jadi guru, dokter, ekonomi, teknisi, birokrat yang peduli dengan nilai nilai Islam?”
“Kini bukanlah saatnya untuk mengejar bayang bayang kebesaran masa lalu kita. Kini sudah saatnya organisasi kemahasiswaan menjadi pendorong pemuda untuk bersungguh sungguh dalam mendalami ilmu di bidang masing masing.” Urai Raharjo panjang. Ia selama ini sumpek dengan gerakan mahasiswa yang selalu berorientasi pada politik kekuasaan. Ia melihat bahwa generasi dahulu kurang mempersiapkan generasi berikutnya untuk mendalami ilmu di bidang masing masing. Apa yang terjadi setelah tujuan berpolitik mereka tercapai? Mereka besar dalam singgasana tanpa ditopang oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi orang orang sezamannya dan generasi berikutnya. Singgasana mereka sangat keropos ternyata. Dan kebesaran mereka pun hanya beberapa saat saja.
“Tapi bukankah mereka telah menggugah kesadaran kita tentang peran kita kini?” ujar Karlan.
“Betul. Kini kita harus mengalihkan perhatian kita pada profesionalisme. Kita tekuni ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Bukan gerakan politik lagi yang kita kedepankan, tapi gerakan budaya modernis Islam,” kata Raharjo seperti mengakhiri diskusi malam itu.
Malam maknm larut. Rumah yang berada di gang Sambu yang menjadi kantor cabang mulai lenggang. Tiap malam memang selalu terjadi perdebatan, walaupun tidak sampai pada kesimpulan. Tapi adu pendapat itu berguna untuk mengasah kepekaan mereka terhadap apa yang dihadapi umat Islam serta mencoba menemukan langkah apa yang akan diambil.
Suara awal yang membahas masalah pencalonan Rahman agar maju mengjagokan diri untuk menjadi pengurus besar kembali dibahas.
*****
KESEBELAS

Ketukan palu ketua sidang terdengar menghentikan ribut ribut peserta sidang. Para peserta kembali duduk dikursinya masing masing dengan tertib. Emosi ditekan untuk melapangkan jalannya sidang yang sudah berjalan alot sejak dua jam yang lalu. Sidang tentang kriteria calon ketua umum memang selalu membawa dinamika dan keriuhan tersendiri dalam setiap persidangan organisasi akhir akhir ini. Dalam sidang inilah seorang kandidat akan terus maju menjadi figur pemimpin atau terjegal dan masuk kotak. Dalam kesempatan seperti ini masing masing kubu akan mempertahankan kriteria yang akan bisa menguntungkan kubunya dan akan mengurangi kubu lain dalam menampilkan seorang kandidat.
“Baiklah. Sidang kita lanjutkan. Setelah tadi kita mendengarkan pikiran pikiran yang merupakan pandangan umum dari beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan serta Sulawesi maka kini saatnya kita mendengarkan pandangan umum kriteria figur ketua dari wilayah Jawa. Kami ingatkan sekali lagi agar masing masing perwakilan tidak menyebut nama. Kita hanya boleh menyebut kriteria dalam kesempatan ini,” pimpinan sidang mengingatkan.
Dengan langkah tegap Muhammad Jaelani menuju mimbar dan segera membeberkan kriteria calon yang akan memimpin organisasi. Setelah giliran perwakilan dari Malang, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Purwokerto.
Ketika perwakilan Purwokerto menyampaikan kriteria kandidat terjadi keributan. Pasalnya perwakilan itu setelah menyampaikan pemandangannya dan ketika turun dari mimbar membentangkan poster kecil yang bertuliskan nama seseorang. Tentu saja peserta sidang yang mempunyai calon lain segera protes
“Ketua. Ia telah melanggar ketentuan yang telah kita sepakati,” teriak seorang peserta. Kemudian ia lari ke atas mimbar menyaut mikrofon dan katanya, “Ini penghianatan. Ini tak bisa diampuni.”
Tiba tiba sebuah kursi melayang dari arah belakang menuju mimbar. Tak terduga lemparan kursi juga melayang ke arah pelempar. Teriakan bersusulan. Darah mengucur deras dari kepala salah seorang peserta. Pelipisnya sobek terkena kaki kursi. Ketukan palu ketua sidang berkali kali bertalu, tapi tak membuat peserta sidang menghentikan aksinya. Peserta lari ke sana kemari. Arena sidang yang tadi tertib, kini bagai pasar yang didatangi kerbau gila. Lari kesana kemari para peserta menyelamatkan diri dan juga dengan melempar benda apa saja yang terdapat didekatnya.
Keributan baru berhenti ketika panitia pengaman dengan susah payah meminta para pelempar menghentikan aksinya. Pimpinan sidang dengan suara berat berkali kali memohon agar para peserta sidang menahan emosinya. Suasana baru benar banar reda setelah satu jam kemudian. Wajah wajah penuh luka segera diobati. Ruang sidang berantakan dengan patahan patahan kaki kursi.
Suara adzan berkumandang. Emosi peserta mereda. Mereka seperti diingatkan akan kelakuan kekanak kanakan mereka yang menggelikan. Pimpinan sidang segera menskor sidang untuk shalat ashar.
Gemericik air wudlu menyemarakan sore dengan sinar matahari yang mulai redup. Dinding terasa hangat. Kesejukan air wudlu mengobati hati luka para peserta.
“Memang kurang etis membeberkan nama calon lebih dini dari ketentuan yang telah disepakati,” ujar Edi.
“Ya. tapi saya kira hal itu memang diatur. Peraturan yang disepakati hanya tidak memperbolehkan dalan menyampaikan pemandangan umum menyebut nama seseorang. Dan apa yang dilakukan perwakilan Purwokerto saya kira tak melanggar rambu rambu itu.” kata Karlan. “Kalau hanya kurang etis, ya.” Rahman hanya diam saja. Ada perasaan tak enak juga untuk ikut berkomentar karena namanyalah yang terpampang di kertas yang menjadi bahan perseteruan.
“Tapi harusnya jangan begitu, dong! Dengan membeber poster seperti itu, ia telah secara tak langsung mendukung Rahman.”
“Bukan secara tak langsung. Malah secara langsung saya kira,” seru Raharjo.
“Secara tak langsung ia telah menjegal nama calon lain.” tutur Edi lagi.
“Tapi sudahlah. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Ini merupakan dinamika organisasi.” ujar Karlan, beusaha menutup perdebatan lebih jauh. Antrian wudlu telah sampai kepadanya untuk segera berwudlu.
Rumor tentang kejadian barusan terus saja berlanjut. Kelompok kelompok berbentuk secara cepat. “Ini mesti dituntut.”
“Jika ini dibiarkan akan menjadi preseden yang tak baik bagi masa depan organisasi kita,” “Kematangan kita dalam berorganisasi diuji dalam kesempatan ini.” “Jangan jangan ini politik adu domba dari pihak luar yang ingin menghancurkan keberadaan organisasi kita. Sebab organisasi kitalah yang selama ini paling besar dan berpengaruh di kalangan mahasiswa perguruan tinggi.” “Saya kira perwakilan Purwokerto harus meminta maaf di depan umum.” Tapi ada jaminan floor akan memaafkan?” “Ini malah akan lebih mengeruhkan suasana dan bibit perpecahan baru akan muncul.” “Dan menurutku tindakan yang paling aman dari sekian yang tidak aman dan paling sedikit menimbulkan resiko adalah membiarkan begitu saja persoalan ini. Nanti kan akan dilupakan dengan sendirinya.” “Suatu masalah dibiarkan, toh nanti akan ada masalah yang menutupinya. Atau kalau bisa buatlah masalah baru akan bisa menutupi masalah yang sebenarnya. Toh saya kira nama calon itu dimunculkan untuk menutupi masalah yang hingga kini kita tak tahu yang sebenarnya. Perwakilan Purwokerto itu saya kira hanya sekedar alat. Ada konpirasi didalamnya.”
Rumour itu terus menyebar. Senyap sebentar ketika para peserta konggres salat berjamaah. Setelah itu merebak kembali.
Shalat ashar selesai. Para peserta pergi ke penginapan masing masing untuk membersihkan diri. Sidang tentang kriteria calon akan dilanjutkan bakda salat isya.
Persoalan yang dipicu perwakilan Purwokerto rupanya membuat klik klik yang rawan bagaikan bunga api yang memercik mercik dari sumbu mercon yang sewaktu waktu bisa meledak. Beberapa cabang dan wilayah bergerombol untuk sebisa mungkin membuat satuan gerak. Mata mata klik bersliweran untuk mengintai apa yang diinginkan oleh masing masing klik untuk kemudian mengambil kesempatan bisa memasukan klik yang bersangkutan untuk bergabung. Mereka saling menyebar rumour dan kemungkinan kemungkinan untuk saling berkoalisi. Jika ada klik yang jelas jelas tidak sepaham, mereka segera pasang kuda kuda untuk sebuah penyerangan dalam suatu perdebatan kriteria calon ketua. Dan jika ada klik yang bimbang, mereka segera mendekat untuk kemungkinan bergabung dengannya.
Dalam rumor rumor itu muncul tiga nama kuat yang dibayangi oleh beberapa nama. Nama Rahman adalah nama yang sering terdengar dan beredar deras dikalangan sebagian besar klik. Menyusul nama Muhammad Assegaf dan Hasan Siregar yang sepertinya berimbang. Klik klik juga tak melewatkan bahan bahan yang akan dikemukakan untuk menyerang kandidat yang akan muncul. Kelemahan kelemahan pribadi para kandidat, mereka korek sedalam dalamnya agar bisa menjadi kemungkinan kemungkinan untuk menjatuhkan pada persidangan yang menentukan nanti.
Pukul delapan malam persidangan dimulai kembali. Persidangan yang dikhwatirkan akan rusuh sebagai akibat ulah perwakilan Purwokerto diramalkan beberapa peserta tak terjadi. Mereka rupanya menyadari tak ada gunanya melanjutkan pertikaian itu. Rupanya mereka lebih mengutamakan mengelus elus kandidatnya sambil menanti nanti kriteria yang akan segera dibacakan panitia. Seperti telah disepakati, setelah pemandangan umum masing masing cabang selesai maka dibentuklah tim perumus kriteria yang terdiri dari tim kecil yang telah dibentuk sebelumnya atas kesepakatan bersama. Mereka bekerja dengan cepat dan cermat mengumpulkan pendapat yang telah disampaikan dalam pemandangan umum. Mereka tinggal menyarikannya.
“Baiklah saudara saudara. Kini kami akan membacakan kriteria calon ketua umum organisasi kita pada periode mendatang. Kriteria itu adalah sebagai berikut :
1. Bertakwa kepada Allah Swt. dengan praktik peribadatan yang tak diragukan.
2. Berwawasan luas baik dalam ilmu pengetahuan maupun ilmu keislaman, dan ber IP minimal 3.0.
3. Memiliki integritas dan jiwa pengabdian serta berani mengambil keputusan dalam situasi yang paling sulit sekalipun dengan mendasarkan diri pada Al Quran dan Hadist
4. Mempunyai indepedensi dan visi serta mempunyai pemahaman yang memadai tentang kejuangan para pendahulu.
“Demikian hasil rumusan tim kecil dan sekian.”
“Terima kasih kepada saudara panitia yang telah membacakan hasil kerja timnya. Untuk selanjutnya sebelum kriteria tersebut kita putuskan menjadi ketetapan kriteria calon ketua umum, akan kami tawarkan pada peserta tambahan atau pengurangan. Penambahan atau pengurangan ini hendaknya yang substansi, bukan permasalahan bahasa. Sebab disini bukan konggres bahasa.” Pimpinan sidang menawarkan. Para peserta tersenyum sebelumnya mengacungkan tangan dan pimpinan sidang mempersilahkan.
“Terima kasih atas waktu yang diberikan. Langsung ke persoalan ini. Kami merasa keberatan dengan point kedua khususnya kriteria IP yang minimal 3.0. Kita ketahui bahwa masing masing perguruan tinggi berbeda beda dalam kualitas. Pengalaman menujukan bahwa ada perguruan tinggi yang royal memberikan nilai dan ada yang pelit. Kriteria itu juga mengabaikan bidang ilmu yang sedang ditekuni. Tentunya tingkat kesulitan masing masing bidang ilmu akan berbeda beda, sehingga kriteria ini sungguh sangat mengada ada. Kami dari perwakilan Sumatera dengan tegas menolak,” katanya mengakhiri penolakannya yang singkat namun mendasar. Tepuk tangan menggemuruh, menyetujui usul tersebut agar dihapuskan point tentang IP yang demikian tinggi itu.
“Kriteria IP ini adalah kriteria yang sungguh sangat relevan saat ini.Era globalisasi menuntut profesionalisme yang tinggi dalam bidang bidang ilmu yang kita tekuni. Dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni maka kita akan bisa meraih masa depan yang lebih baik. Hendaklah kita jangan emosional berpendapat tanpa patokan yang objektif. Memang benar ada beberapa perguruan tinggi yang royal dalam pemberian nilai dan ada pula yang pelit. Selain itu juga antara bidang ilmu yang satu dengan yang lain ada perbedaan tingkat kesukarannya. Itu memang benar adanya. Namun demikian, ini tidak bisa untuk menjadi penyebab gugurnya point tersebut. Hal yang lebih penting adalah usaha kita untuk lebih benar benar meningkatkan kriteria calon calon pemimpin di masa datang. Sekali lagi kita hendaklah jangan emosional. Dengan kriteria yang tinggi ini maka kita akan mendapatkan dan sekaligus mempersiapkan kader kader masa depan yang lebih baik. Bukankah ini suatu peningkatan prestasi tersendiri bagi organisasi kita ?. Dan ingatlah analisis para alumni dan para tokoh tentang organisasi kita yang kini yang sedang mengalami kemorosotan peran. Baik dalam kiprah kemasyarakatan maupun dalam keilmuan sebagai ciri keterpelajaran kita. Dengan kriteria ini kita akan menjawab tantangan itu, bukan dengan retorika tapi dengan langkah nyata. Dan yang lebih penting dari itu semua adalah bukankah kita tidak mau dipimpin oleh pemimpin yang lebih bodoh dari kita?” Karlan mengakhiri argumentasinya yang segera disambut dengan gemuruh tepukan tangan. Mereka merasa puas dan menaruh harapan akan kader kader pemimpin masa datang yang mempunyai nilai lebih seperti kader kadernya terdahulu.
Rumor segera beredar bahwa kriteria itu hanya untuk menjegal kandidat kandidat yang berasal dari Sumatera dan untuk memuluskan jalan Rahman. Suasana memanas, keributan kecil terjadi lagi di barisan belakang yang kontra terhadap kriteria IP itu. Untuk mengantisipasi hal yang tak diinginkan pimpinan sidang mengetukan palunya berkali kali. Sidang diskor untuk sementara waktu. Panitia segera mendiskusikannya dengan pimpinan sidang serta perwakilan yang pro maupun yang anti dalam rapat yang tertutup. Dengan cukup alot, akhirnya diputuskan pencantuman IP tetap namun diturunkan menjadi 2.50. Kesepakatan itu akhirnya diterima semua pihak dengan catatan akan merekomendasikan jumlah IP 3.0 untuk calon ketua yang akan datang.
Dengan kriteria IP yang demikian, para kandidat dari masing masing kubu bisa masuk bursa calon jadi. Tiap orang yang masuk bursa calon jadi adalah Rahman, M Assegaf, dan Hasan Siregar.
Tepat pukul 22.00 acara penyampaian program oleh para calon jadi di mulai. Acara ini merupakan acara terakhir konggres yang menentukan ketua umum definitif yang berhak menyusun kepengurusan selengkapnya dalam waktu satu minggu dengan dibantu oleh dua calon jadi yang memperoleh suara urutan kedua dan ketiga. Boleh dikatakan acara ini adalah puncak segala acara konggres yang dinantikan banyaknya peserta konggres. Pucuk pimpinan masih segala galanya dalam organisasi, hampir seluruh organisasi yang ada.
Pimpinan sidang mengetokan palu tiga kali menandai dimulainya persidangan. Setelah itu dibacakannya aturan segala hal yang menyangkut proses pemilihan yang telah disepakati dalam sidang sidang komite. Secara garis besar, para calon jadi diharuskan menyampaikan curikulum vitae, visi dan program program dilanjutkan tanya jawab. Sehabis tanya jawab selesai para peserta memilih ketua umumnya dengan satu orang satu
suara. Suara terbanyaklah yang bakal menjadi ketua umum.
Muhammad Assegaf mendapat giliran pertama menyampaikan curiculum vitae,visi dan program program organisasi. Dengan suara berat ia memaparkan visinya dan program kerja yang akan dilakukannya seandainya peserta konggres mempercayainya memimpin organisasi. Tepuk tangan membahana setelah Muhammad Assegaf menyampaikan jawaban pertanyaan pertanyaan peserta. Cabang cabang wilayah timur nampaknya mendukung pencalonannya.
Usai Muhammad Assegaf, giliran Hasan Siregar. Tak kalah lantang dan bersemangatnya Hasan menyampaikan curiculum vitae, visi dan program kerja yang akan dilaksanakan seandainya terpilih menjadi orang nomor satu di organisasi itu. Inti program kerjanya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan penekanan pada studi studi yang bersifat populer di masyarakat. Ia juga menekan pentingnya keterlibatan organisasinya dalam gerak nafas bangsa. Organisasinya harus organisasi yang terlibat bukan organisasi yang berdiam diri di menara gading. Membiarkan arah gerak masyarakat dan nafas kehidupannya dibiarkan berjalan dengan sendirinya.
Rupanya visi dan program kerja Hasan Siregar paling banyak mendapatkan reaksi dari peserta konggres. Mereka kurang sepakat dengan pandangan organisasi yang terlibat. Sebab jika hal itu terjadi maka akan menjadi organisasi mencetak kader kader partai. Bahkan bisa menjadikan organisasi terbawa arus yang bisa menjerumuskannya ke dalam arah pragmatisme. Kalangan mahasiswa bukanlah kaum pragmatisme dalam organisasi. Dan jika ini terjadi maka akan membawa organisasi ke dalam perubahan yang mendasar berkenaan dengan ide dasar dibentuknya organisasi tersebut sebagai organisasi kader. Ciri dasar inilah yang dikhawatirkan akan lenyap jika organisasi terlibat terlalu jauh dengan apa yang terjadi di masyarakat. Organisasi kader bukan seperti itu. Ia memikirkan keadaan masyarakatnya dan kemudian mencari arah yang terbaik untuk mengarahkan gerakannya. Bukan terbawa arus masyarakat.
Betul memang organisasi harus memikirkan keadaan masyarakat, tapi itu bukan hal yang harus disentralkan dalam gerakannya. Ia hanya sebagai bagian dari sayap organisasi. Ia memikirkan masyarakat tapi bukan mengikuti masyarakatnya. Ia menjadi pengarah masyarakat, serperti avant gardalah.
Begitulah tanggapan peserta konggres terhadap visi dan program kerja yang ditawarkan Hasan Siregar. Namun bukan berarti peserta konggres menolak secara keseluruhan apa yang disampaikan Hasan Siregar. Masalah peningkatan SDM merupakan masalah yang sangat disetujui peserta konggres. Sebab masalah inilah yang terpenting dalam organisasi yang bercirikan organisasi kader. Dan sebagian peserta sepakat karena melihat bahwa organisasi akhir akhir ini kurang menggarap masalah ini.
Diakhir tanggapannya Hasan Siregar mendapat sambutan yang luar biasa. Tak kalah dengan sammbutan yang didapat Muhammad Assegaf. Para pendukungnya meneriakkan yel yel. Hidup Hasan! Hidup Hasan.
Penyampaian Visi Curiculum Vital dan program kerja yang terakhir dilakukan Rahman. Ia melangkah ke podium dengan langkah langkah mantap. Langkah yang penuh percaya diri. Ratna menatapnya dengan perasaan bangga. Sementara Edi, Karlan, Raharjo dan kawan kawannya bertepuk tangan yang kemudian disambut oleh peserta konggres.
Sesampainya di podium Rahman diam sebentar. Dipandangnya peserta konggres dengan penuh perhatian. Suasana senyap seketika peserta kongres memperhatikan dengan khikmat perkataan demi perkataan yang disampaikan Rahman.
Setelah menyapaikan curiculum vitae, Rahman memaparkan visi dan program kerja yang akan dilakukannya seandainya ia terpilih menjadi ketua umum. Pada intinya ia sepakat dengan apa yang telah disampaikan oleh Hasan Siregar berkenaan dengan peningkatatan kualitas SDM dalam tubuh organisasinya. Hal ini merupakan perioritas utamanya. Peningkatan ini meliputi peningkatan kesadaran dan pengetahuan keagamaan serta ilmu pengetahuan umum. Selain itu juga perlu ditekankan pengetahuan masalah-masalah internasional. Hal ini untuk meningkatkan pemahaman akan peta kekuasaan peradaban dunia. Kita tidak bisa melangkah dengan pasti tanpa mengetahui peta kekuatan kita sendiri maupun peta kekuasaan yang ada di sekelilingnya serta dunia pada umumnya.
Peningkatan kader organisasi selain peningkatan kemampuan menyampaikan gagasan-gagasan melalui lisan juga tak kala pentingnya peningkatan kemampuan menyampaikan gagasan secara tertulis. Yang terakhir inilah yang selama ini lemah dalam organisasi. Oleh karena itu perlu segera di perhatikan peningkatannya.
Pemberdayaan perempuan juga tak luput dari program yang dipaparkannya. Sebab perempuan merupakan separuh dari anggota organisasinya. Jika potensi yang lima puluh persen ini diabaikan maka organisasi dengan sendirinya telah membuang separuh dari energi yang dimilikinya.
Ketika menyampaikan hal ini, aplus menggemuruh, peserta kongres sangat antusias menyambutnya, khususnya kaum wanita. Aspirasi mereka terwakili oleh ungkapan-ungkapannya yang jelas mendukung pemberdayaan perempuan dalam meraih kesamaan derajatnya dan yang lebih penting lagi adanya konsep yang ditawarkan Rahman tentang pemberdayaan wanita yang realistis dan jelas langkah-langkah pelaksanaannya.
Tiba saatnya acara tanya jawab. Penanya pertama seorang ukhti yang bertanya tentang langkah-langkah yang harus diambil dalam meningkatkan SDM, khususnya sumber daya perempuan. Rahman menjawab dengan tangkas dan ringkas, bahwa perempuan adalah pendidik utama dan pertama dalam menyiapkan generasi mendatang. Berkualitasnya generasi mendatang sangat tergantung pada kaum perempuan walaupun bukan satu satunya penanggung jawab. Oleh karena itu perempuan harus benar benar bukan ditingkatkan kemampuannya tapi harus berperan aktif meningkatkan dirinya sendiri. Islam jelas mendudukkan kaum wanita pada posisi yang tinggi.
Perempuan itu hanya cukup membekali dirinya dengan pengetahuan tentang hal-hal yang dikaitkan dengan kewanitaan, mengurus anak sampai mengurus suami. Tapi ia juga harus mempesiapkan dirinya tentang bidang-bidang keahlian yang ada dalam masyarakat. Ini penting agar posisinya independen, tak tergantung kaum lelaki. Suatu kecenderungan wanita menjadi tempat dijadikannya tempat eksploistasi karena wanita itu posisinya yang sangat tergantung pada kaum laki-laki, terlebih-lebih dalam bidang ekonomi.
Sementara itu sebelum acara tanya jawab selesai, malah bahkan sebeleum acara penyampaian visi, curiculum vitae dan program kerja diadakan rupanya sudah ada selebaran yang sudah menyebar. Berbagai-bagai selebaran malahan. Isi selebaran itu bermacam-macam ada yang memeuji -muji calonnya, ada yang berisi uraian program-program kerja dan visi yang masing-masing. Sampai selebaran-selebaran yang berbau fitnah yang bertujuan menjatuhkan calon lainnya.
“Lan, kau sudah baca selebaran ini ?” Tanya Edi kepada Karlan yang duduk berdampingan dengan Raharjo, Karlan segera meminta selebaran itu yang berisi curiculum vitae yang sebenarnya, tulis dalam selebaran itu.
“Ini bagaimana kawan?” tanya Edi selanjutnya.
“Untuk sementara ini diam dulu” kata Raharjo berusaha menenangkan.
“Bagaimana dengan Rahman, apakah kita harus konfirmasikan kepadanya?”.
“Jangan dulu, alangkah bijaksananya jika kita berusaha agar Rahman jangan samapai mengetahui selebaran ini.” Jawab Raharjo.
“Ya saya kira itu langkah bijaksana. Bukan saja Rahman temen dekat kita, tapi ia juga kita yang mencalonkannya.” sambung Karlan. Mereka nampaknya sepakat untuk menyembunyikan hal ini dan berusaha agar Rahman tak mengetahui selebaran itu.
Sebetulnya Raharjo pernah mendengar hal itu beberapa waktu sebelum kongres. Namun sifatnya hanya samar-samar. Jika selebaran itu benar, maka benarlah rupanya akan isyarat yang beberapa kali telah disampaikan Rahman, yang berupa keragu-raguannya menerima ajakan agar dirinya menjadi calon ketua umum yang diajukan oleh rekan-rekannya.
Edi, Karlan dan raharjo berdebar-debar, sementara Rahman menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta kongres. Selama ini pertanyaan hanya menyangkut visi dan program kerja yang telah disampaikannya. Belum ada yang menyangkut masalah curiculum vitaenya. Semoga tidak ada yang mengorek-orek riwayat hidupnya itu. Dalam pandangan mereka jika curiculum vitae Rahman ditanyakan salah satu peserta kongres maka habislah harapan Rahman menjadi ketua umum organisasinya.
Mereka berfikir keras agar acara tanya jawab segera diakhiri. Mereka juga berdo’a, semoga pertanyaan tentang curiculum vitaenya tidak ditanyakan peserta kongres. Hati mereka sedikit lega ketika pimpinan sidang menyatakan acara tanya jawab untuk Rahman telah berakhir. Tepuk tangan menggemuruh mengiringi langkah Rahman menuruni tangga podium. Sorot mata Ratna tak lepas menyertainya langkah-langkahnya.
Pimpinan sidang menyatakan acara penyampaian visi curiculum vitae dan program kerja masing-masing calon ditutup. Acara dilanjutkan dengan pemungutan suara, one man one vote. Panitia mempersiapkan diri diloket yang telah ditentukan untuk segera menyelenggarakan pemungutuan suara.
“Interupsi ketua sidang!” tiba-tiba suara lantang dari kanan pimpinan sidang agak ke belakang, peserta riuh menyorakinya. Mereka kesal adanya intruksi itu mengingat waktu hampir tengah malam. Teriakan-teriakan muncul agar segera pemungutan suara segera saja dilaksanakan. Ketua sidang memukulkan palunya keras-keras sehingga peserta sedikit tenang.
“Karena forum ini forum kita, maka kami persilahkan yang akan memberikan interupsi,” katanya tenang.
“Terima kasih Saudara ketua. Nama saya ... dari cabang ... ingin menyampaikan hal sangat penting untuk kelangsungan organisasi kita dimasa yang akan datang. Kita tahu bahwa seorang pemimpin harus memiliki kreteria-kreteria yang telah kita sepakati bersama dalam sidang sebelumnya tentang kreteria seorang ketua umum organisasi kita. Ini sudah pasti, barangkali ini akan membuat masalah dimasa yang akan datang terhadap orang-orang dalam organisasi ......”
“ Saya mohon dipersingkat,’ potong ketua sidang.
“ Terima kasih. Singkatnya begini saudara-saudara. Ini barangkali bukan pertanyaan, hanya minta klarifikasi khususnya kepada saudara calon ketua, yang terakhir menyampaikan visi dan program kerjanya tadi, yaitu saudara Rahman. Klarifikasi itu berkaitan dengan adanya selebaran kepada para peserta kongres. Edi nampak yang paling gelisah diantara rekan-rekannya. Sementara Rahman belum mengetahui benar isi selebaran itu.
“ Saudara ketua, Saudara ketua. Interupsi!” suara Karlan lantang. Peserta kongres beralih perhatiannya kepada Karlan. Sebagian ribut, mengacungkan tangannya juga minta interupsi. Ketua sidang memukulkan palunya meminta peserta tenang. Berkali-kali ia memukulkan palunya, tetapi peserta tak menghiraukannya. Ketika pukulan cukup keras disertai teriakan permintaan tenang, barulah peserta sedikit tenang.
“Kami persilahkan penginterupsi pertama menyampaikan pendapatnya.
Karlan berdiri, lalu katanya dengan tegas. “Begini saudara-saudara. Kesempatan ini adalah acara pemungutan suara. Penyampaian visi, dan program kerja serta curiculum vitae sudah selesai yang disertai dengan tanya jawab tadi. Mestinya klasifikasi itu disampaikan tadi, bukan sekarang. Mengapa hal itu tidak ditanyakan tadi ketika tanya jawab. Jadi alangkah bijaksananya acara kita lanjutkan dengan pemungutan suara, mengingat waktu juga sudah malam.”
“Interupsi, Ketua” seru peserta kongres yang tadi telah menginterupsi. Peserta yang lain juga minta angkat bicara.
“Saya sutuju dengan Saudara tadi bahwa acara kita sekarang adalah pemungutan suara. Jadi mohon ketegasan ketua sidang untuk segera memulai acara pemungutan suara.”
“Saya setuju acara segera dimulai saja. Tapi alangkah baiknya supaya isi selebaran itu dibacakan dulu agar kita mengetahui duduk persoalannya secara jelas” pengintrupsi yang lain lagi mengusulkan. Raharjo, Karlan dan Edi yang sudah mengetahui isi selebaran itu semakin khawatir. Kemudian Rahrjo angkat tangan untuk mengintrupsi.
“ Begini Saudara ketua. Selebaran itu tak usah dibicarakan. Sebab namanya selebaran itu hanya rumor yang bermaksud membuat fitnah diantara kita semakin merunyak. Dan hal itu bisa menimbulkan perpecahan dalam organisasi kita. Ini tidak kita hendaki.” kata Raharjo. Perkataan itu disambut dengan yel yel hu hu panjang oleh sebagian peserta.
Demi untuk memperjelas masalahnya, ketua sidang akhirnya mempersilahkan selebaran itu dibacakan setelah timbul saling interupsi. Selebaran itu dibacakan ketua sidang setelah menerima selebaran dari pengintrupsi pertama. Isi selebaran itu menyatakan bahwa Rahman keturunan camat di daerah Klaten yang tersangkut gerakan tiga puluh September. Keluarganya diadili masa. Rahman adalah satu-satunya anggota keluarga yang selamet dan kemudian diasuh oleh kakek neneknya.
Selesai selebaran dibacakan peserta terdiam. Rahman pucat mendengarnya. Sementara Ratna gelisah ditempat duduknya. Widya berusaha menenangkannya demikian juga Raharjo, Karlan dan Edi berusaha bersimpati kepada Rahman. Mereka tetap mendukungnya dengan mengatakan bahwa hal itu tidak akan mempengaruhi pencalonannya. Sebab yang terlibat partai terlarang adalah orang tuanya dukan dirinya. Selain itu juga belum tentu kebenarannya akan selebaran itu.
Untuk menentukan apakah acara akan dilanjutkan dengan pemungutan suara atau diadakan klarifikasi tentang kebenaran selebaran itu, ketua sidang menskos acara seperampat jam untuk mendinginkan suasana. Namun sebetulnya sudah bisa ditebak bahwa acara klarifikasi akan diadakan mengingat isi selebaran itu. Pensekoran itu sebetulnya hanya bertujuan untuk memberikan kesepakatan kepada Rahman untuk mempersiapkan bahan-bahan klarifikasinya.
Raharjo tak enak menanyakan tentang kebenaran selebaran itu kepada Rahman. Demikian juga dengan Karlan, Edi dan teaman-temannya yang lain. Mereka hanya menanti apa yang akan dikatakan Rahman tentang selebaran itu, setelah mereka berkumpul disuatu ruangan tertutup.
“Tidak ada yang perlu diklafikasikan Saudara-saudara.” kata Rahman, semuanya sudah jelas lanjutnya.
“ Maksudnya ?” tanya Edi.
“ Ya benar selebaran itu,” katanya tegas tanpa berusaha menutup-nutupi kenyataan yang ada. Ada perasaan sakit yang memukul ulu hatinya. Teman-temannya yang mendengar merunduk, simpatik, kecewa atau empati bercampur aduk dalam hati mereka. Namun demikian pesimisme menyelimuti mereka karena secara moral mereka menyadari bahwa hal itu kurang etis.
Tak lama kemudian acara dilanjutkan. Berdasarkan kesepakatan para pengurus cabang dengan lobi-lobi yang intensif acara klarifikasi diadakan. Rahman menyampaikan apa adanya tentang keberadaan dirinya. Peserta terharu mendengar penuturannya yang disampaikan dengan penuh kejujuran. Simpati mengalir kepadanya, dari berbagai utusan cabang cabang yang ada. Peserta sepakat agar Rahman tetap mempunyai hak untuk melanjutkan proses pemilihan suara. Namun demikian tegas dan tetap tegar Rahman mengundurkan diri dari pencalonan. Simpati peserta konggres bertambah dengan pernyataannya itu.
Proses pemungutan suara dimulai tepat pukul 01.00 dinihari. Dari hasil pemungutan suara yang diadakan dua jam kemudian, Hasan Siregar memperoleh suara terbanyak sehingga berhak menjadi ketua umum periode mendatang.


******


KEDUA BELAS

Sudah satu bulan lebih Rahman tidak lagi datang ke kantor cabang organisasinya. Pukulan telak diterimanya beberapa minggu yang lalu. Organisasi yang selama ini telah memberikan oftimisme dan gerak langkah yang penuh vitalitas. Kini ke tepurukan harus ia rasakan dalam kesendirian.
“Kehidupan ini memang kejam,” batinnya. Terasakan olehnya kekejaman dalam kehidupan berorganisasi, apalagi organisasi yang berbau politik.
Diingatnya betul isi selebaran yang telah menghancurkan dirinya yang tinggal selangkah lagi ia akan menduduki kursi ketua umum. Sebuah ungkapan kata kata yang begitu menyakitkan. Anak turunan PKI tak pantas menjadi aktivis organisasi, apalagi organisasi yang berasaskan Islam. Ia catat perkataan itu di hatinya dari perkataan salah seorang peserta.
“Aku tak menyesalkan keadaan dirinya yang sebenarnya. Hanya saja mengapa hal itu di ungkapkan di depan publik,” ujarnya dalam hati. Ini berarti dirinya telah diproklamasikan menjadi orang yang paling harus diwaspadai dalam segala sikap dan tingkah lakunya. Ditelusurinya kenangannya menjadi anggota organisasi di awal dulu. Harapan demi harapan dan cita cita direndanya bersama emosi suka dan duka. Suatu pengalaman yang nostalgik tercipta dalam benaknya. Ia bukan menyesali akan tidak terpilihnya ia menjadi salah satu pengurus taras organisasi. Yang disesalinya adalah mengapa ia dulu terjun ke dalam organisasi yang kini demikian dicintainya. Organisasi yang telah menyita waktu dan tenaganya serta pikirannya. Organisasi tempat bersandarnya segala angan angan yang dibangunnya bersama Ratna.
“Tidak. Aku takkan kembali!” tegasnya penuh rintihan meggapai suara hatinya yang memanggil manggil agar tetap aktif di organisasi itu walaupun hatinya telah dilukai.
“Aku tak mempunyai harapan lagi yang bisa kutunai diorganisasi apapun.” batinnya tegas.
“Berarti kamu selama ini berorganisasi dengan pamrih!” protesnya.
“Siapa yang pamrih? Aku? Tidak!” bantahnya.
“Lalu apa, kalau bukan pamrih. Aku tantang kau, kalau kau tidak pamrih maka aktiflah lagi kau di organisasi.”
“Untuk apa?”
“Ya, untuk meningkatkan kemampuan dirimu. Untuk mengaktualisasikan dirimu. Untuk membuktikan eksistennya akan kehadiranmu di dunia ini.”
“Aktualisasi diri bukan lagi tempatnya di organisasi. Sebab eksistensi seseorang yang bernama Rahman telah lenyap oleh eksistensi orang tuanya. Aktivitas telah dianggap melanggar konstitusi negeri ini. Dan makanya harus dibumihanguskan sebagai generasi penerusnya maka segera akan dilenyapkan segala putik putiknya yang mungkin akan tumbuh kembang sebagai penggantinya.”
“Tidak! tidaaaaak!” teriaknya protes.
“Jangan pesimis begitu, kawan! Dunia ini tak selebar pandangan manusia yang serba terbatasi ruang dan waktu. Ingatlah bahwa dunia ini tak kan bisa menutup geliat hatimu yang penuh aktivitas, yang membutuhkan kenal-kenal pelepasan. Ini yang tak bisa kau pungkiri.”
“Betul. Dunia ini luas dan takkan mungkin mampu menampung segala aktivitas, seluruh aktivitas manusia. Apalagi hanya dirimu.Tapi kita tak hidup dikerajaan langit.” timpalnya.
“Kita hidup bukan hanya zaman ini. Kita kini hanyalah mempersiapkan kehidupan dimasa yang akan datang. Dalam masa persiapan hendaklah kita mengalami hal hal yang seberat beratnya. Anggaplah ini suatu latihan untuk mengemban tugas berat yang akan kita pikul di masa yang akan datang. Bukankah semakin tinggi suatu pohon maka akan semakin kencang terpaan angin yang menimpanya. Jika kita hanya jadi rumput, kita tak akan tertempa angin yang begitu kencang. Angin topan yang menekuk dan menumbangkan akan berlalu begitu saja dihadapan kita, Tapi ingat. Kita memang tak akan tertumbangkan oleh angin, tapi kita akan terinjak injak oleh apa saja yang lewat diatasnya.”
“Kata-kata itu bagus untuk didengar. Kata kata yang penuh filosofi. Ya kebenaran filosofi. Dan kita hidup dalam alam nyata. Alam yang kadang tak menyisakan ruang sedikitpun untuk apa yang diagungkan oleh para filosof. Biarlah para filosof asyik dengan rumusan rumusannya sendiri. Itu tak akan bisa direalisasikan dalam kehidupan nyata. Itu paling tidak. Atau minimal akan banyak menemui kesulitan apabila kita bersandar pada kata kata filosofi yang penuh nilai kebenaran dan moral. Tapi ingat kita hidup di dunia dimana kebenaran dan moral gampang dijentikan oleh jari jari kekuasaan. Ini persoalan kekuasaan bukan persoalan filsafat. Ingatlah bahwa secuil kekuasaan akan lebih efektif daripada segudang ilmu.” hatinya dengan penuh keyakinan akan argumentasinya.
“Kau harus ingat, Man. Kekuasaan adalah sesuatu mahluk yang dipegang oleh seorang penguasa. Dan tentunya akan bisa suatu saat kekuasaan juga akan dipegang oleh orang orang yang menjunjung kebenaran. Dan nilai nilai moral. Sebagai suatu alat, kekuasaan bisa berganti ganti pemegangnya.”
“Tapi toh yang namanya kekuasaan dimanapun dan kapanpun juga waktunya, yang namanya kekuasaan selalu dipegang oleh penguasa. Dari katanya saja, yang namanya penguasa adalah orang yang menguasai sesuatu massa untuk menggolkan kepentingannya, baik kepentingan dirinya, kelompoknya ataupun golongannya,” cibirnya.
“Betul. Kekuasaan adalah alat yang dipegang selalu oleh penguasa. Tapi jangan pukul rata dong. Penguasa bisa seorang yang alim agamanya. Ia bisa luas dan dalam ilmunya. Atau ia bisa juga dalam pengertiannya tentang manusia dan kemanusiaan. Ia bisa juga berwujud seorang negarawan yang selebar dan luas kebijaksanaannya dan tinggi kehalusan budi dan nuraninya serta adil dalam timbangannya. Pokoknya, ia bisa dipegang oleh orang yang tercerahkan dalam kata kata kaum agamawan, atau ubermen dalam pengertian filosofi Nieshcze.”
Rahman terus saja bergulat dengan fikiran dan hatinya. Persoalan kehidupan yang bukan saja hanya persoalan unggul dan lemah, persoalan berkuasa dan dikuasai. Ia bisa menyangkut perasaan akan ketakutan dan keberanian dalam menjalani kehidupan ini. Emosi emosi yang menyertai manusia dalam hidup ini berperan amat besar. Subjektifitas inilah yang banyak menetukan seseorang dalam menetapkan langkah jalannya kehidupan.
Pikiran yang condong mendorongnya untuk aktif kembali dalam berorganisasi mendapat perlawanan yang sama kuatnya untuk tetap tak aktif di organisasi. Malam yang cerah dengan awan tipis bergelayut di ujung timur laut. Seekor komet munggil melintas di antara ribuan bintang yang berkelip bagai mata kanak kanak menyambut ibunya yang baru pulang dari pasar. Bulan melengkung dengan aurora warna burung parkit membenamkan pengembaraan pikiran Rahman.
Sepeda motor dengan sinar lampunya yang redup meluncur di jalanan depan rumah yang berdebu. Asap tipis menyatu dengan debu mengepul menyesakkan nafas kunang kunang yang terbang terhuyung. Sinarnya tak lagi mempesona diterpa segala sinar neon dan lampu listrik yang memancar dari halaman rumah kanan kiri jalan. Rahman menatapnya dengan penuh kekalahan seperti dirinya.
Langkah lunglai mengantarnya menaiki tangga rumah besar di jalan Gatotkaca. Suara batuk batuk kakeknya terdengar. Kesehatan kakeknya sepeninggal nenek semakin memprihatinkan. Malam selalu dilewatkan dengan batuk yang kadang memburu disela bunyi bunyi gamelan yang mengiringi gerak langkah wayang. Dunia semakin mendung dan mencekik kehidupan dirinya. Tiada tempat bersandar. Hanya Ratnalah yang masih bisa mengisi jiwanya untuk selalu menjalani kehidupan ini. Namun betulkah Ratna masih mencintainya? Dan akan terus bisa mencintainya?

*****










KETIGABELAS

“Man! Apakah kau sudah berfikir matang untuk meninggalkan dunia aktivitas organisasi yang selama ini kau percaya akan membuahkan hasil dimasa yang akan datang?” tanya Raharjo mengusik ketenangan Rahman dalam membaca. Jiwa-jiwa Mati karya novelis Sovyet kesohor Nikolai Gogol.
Rahman tidak segera menjawab. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang sering diajukan oleh teman temannya selama ini. Hampir setiap orang yang dikenalnya dengan baik akan menanyakan hal itu. Sebetulnya, bagi Rahman hal itu sangat menjengkelkan. Andaikata saja, bukan Raharjo yang menanyakannya, dirinya akan diam saja atau akan mengalihkan perhatian kepada hal lain. Perhatiannya terpecah dengan hadirnya pertanyaan itu. Ditutupnya novel Gogol dan salah satu jarinya sebagai pembatas halaman yang sedang dibaca.
“Aku tak tahu harus menjawab apa, Har.” jawab Rahman singkat. Pandangannya menerawang kosong.
“Kau kini sangat berubah, Man. Kini aku tak menemukan lagi sosok Rahman yang selama ini aku kenal. Mahasiswa aktivis, orator, singa panggung dan segala atribut yang telah melekat dalam dirimu, Man.”
“Itulah proses hidup, Har.”
“Ya. Proses hidup. Tapi itu tidak harus membelokkan atribut atribut yang telah kau sandang selama ini. Semua orang berhak mengalaminya, tak terkecuali denganku.”
“Bagaimana dengan konsep konsep yang telah kau paparkan dalam berbagai diskusi. Bukankah itu akan mengalami kemandekan dan menemui ajalnya konsep konsep itu tanpa digembalakan olehmu. Saya memperkirakan, sepeninggal kau dari gelanggang aktivitas organisasi kemahasiswaan maka kesuraman akan menyelimuti masa depannya. Dan apa yang sekian lama kau dan kita perjuangkan bersama kawan kawan akan musnah percuma.”
“Kau jangan sentimentil seperti itu, Har. Kau telah melebih lebihkan diriku. Masih banyak kawan kita yang lain. Mengapa harus aku berada di antara mereka. Tanpa aku pun, mereka harus terus bergerak. Memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan.”
“Itu betul. Tapi ketahuilah, Man. Semua teman mengharapkan kehadiranmu ditengah tengah mereka. Mereka sangat mengharapkanmu dengan sungguh sungguh.”
Rahman berdiri. Memandang keluar melalui jendela kamarnya. Seekor burung prenjak nampak sibuk mancari makan di pohon jambu. Awan bererak menepis sinar matahari yang mulai condong ke barat.
“Sudahlah, Har Tak ada gunanya kita berdebat tentang gerakan mahasiswa. Aku sudah berkeputusan untuk mundur dari aktivitas itu.”
“Tidakkah keputusan itu bisa dirubah? Dan atas dasar apa kau berkeputusan demikian yang merugikan aktivitas geraka mahasiswa kini yang sedang ramai-ramainya menuntut pembentukan Dewan Mahasiswa. Dan tuntutan itu itu segera akan tercapai jika presur mahasiswa semakin menguat. Mendikbud sendiri nampaknya sudah mengisyarakatkan hal demikian.”
“Ah. Aku tak percaya lagi dengan gerakan mahasiswa segala. Aku yakin walaupun Dewan Mahasiswa terbentuk lagi seperti tahun tahun 1970-an. Aku tak yakin dewan itu akan berhasil membawa aspirasi aspirasi mahasiswa. ”katanya pesimis. Raharjo yang merasakan perubahan yang amat drastis dalam diri Rahman yang selama ini diketahui amat idealis.
“Aku tak mau omong banyak, Har. Sejarah telah membuktikan. Gerakan mahasiswa untuk meraih kedudukan di pemerintahan saja kelak. Itu saja. Titik. Gerakan mahasiswa tak murni lagi. Aku tak perlu mengeluarkan bukti bukti. Kau lihatlah gerakan mahasiswa 66 itu. Apa yang mereka perbuat. Kini eksponennya telah menjadi birokrat yang membeku yang tak ada bedanya lagi dengan birokrat tulen borjuis feodal.”
“Jangan samakan , Man. Mereka yang berbuat demikian tidak semuanya aktivis 66. Mereka hanya sebagian. Dan itu memang sudah sifat manusia. Lupa akan apa yang pernah diperjuangkan sejak muda.”
“Apa? Mereka manusia ? Apa kita bukan manusia? Dan dimana aktivis yang lain? Bungkam, kan! Takut sehingga tak bersuara lagi kini. Dan harus kau catat. Mereka yang bisa bicara kini adalah mereka yang punya kedudukan saja. yang punya pengaruh. Lainnya, nol. Mana mungkin media masa bersedia menyuarakan aspirasi orang orang yang tak akan menaikan aset medianya. Bah!”
Raharjo tak melanjutkan perdebatannya. Dirinya menyadari bahwa temannya sudah demikian berubah. Upaya yang telah dilakukan oleh teman temannya dan juga dirinya untuk menarik kembali Rahman ke gelanggang aktivitas mahasiswa percuma. Nampaknya ada hal yang membuat Rahman demikian berubah drastis. Peristiwa konggreslah yang sangat memukulnya sehingga menjadi begini.
Pandangan pandangan Rahman semakin pragmatis. Memandang suatu masalah berdasarkan kenyataan yang sedang berkembang. Tidak melihat arus benang merah yang menghubungkan setiap aktivitas gerakan mahasiswa selama ini. Rahman telah menolak segala argumen. Pandangannya kini hanya berdasarkan alasan praktis dan pragmatis. Tidak melihat pada kepentingan dimasa datang pada tonggak sejarah.
“Jika kau akan meneruskan apa yang kau sebut gerakan moral mahasiswa. Silakan, Har! Aku jadi penonton saja. Semoga kelak kau jadi menteri. Eh, siapa tahu itu akan terjadi. Dan gerakan mahasiswamu kini akan mengantarmu ke kedudukan tersebut. Selamat buatmu. Dan selamat tinggal aktivitas mahasiswa buatku. Okey!?” Rahman menyalami Raharjo yang di sambut dengan dingin. Rahman meninggalkan Raharjo sendirian. Terheran heran atas perubahan sikap sahabatnya yang sudah dikenalnya demikian lama. Namun kini seolah jauh sekali tali persahabatan yang demikian erat dulu. Pemahamannya selama ini ternyata ada sisi sisi manusia yang tak diketahuinya. Memang orang tak akan bisa mengenal dengan sepenuhnya perasaan dan pandangan seseorang yang dikiranya kita mengenal dengan baik. Memang manusia itu sebuah misteri.
*****
Suasana perpustakaan malam itu tidak terlalu ramai pengunjung. Hujan sehabis ashar membuat udara dingin dan suasana sepi di sekeliling kampus. Para mahasiswa lebih memilih tetap tinggal dirumah kostnya daripada berkunjung ke perpustakaan.
Ratna sengaja datang malam itu, khusus menemui Rahman. Ada kebiasaan baru Rahman hari hari belakangan setelah konggres organisasinya di Purwokerto. Teman teman Ratna selalu mendorongnya untuk membantu menyembuhkan luka hatinya. Bukan hanya itu, sebetulnya yang mendorong Ratna datang ke tempat Rahman. Ada kekuatan yang selalu memanggilnya untuk menemui Rahman setelah sekian lama Rahman seolah selalu menghindari dirinya. Ada tirai tirai yang selalu menghalangi dirinya menemui Ratna seperti sebelum konggres. Ada batas yang tak bisa dilaluinya setelah kejadian di Purwokerto itu. Nampaknya semua orang menelunjukan jarinya ke arahnya bahwa dirinya orang yang harus diasingkan.
Benar saja Rahman sedang serius di salah satu deretan yang sepi menghadapi buku buku. Dengan hati hati Ratna mendekatinya.
“Assalamu’alaikum!” sapanya. Rahman tergagap. Dipandangnya Ratna dengan wajah sedikit senyum. Dengan suara lirih seolah mau menghindar Rahman menjawab salamnya.
“Boleh duduk?”
“Ya. silahkan.” Ratna mengambil tempat duduk disampingnya. Suasana kaku menggelayuti. Pandangan mata Rahman masih terpaku pada buku yang dibacanya.
“Ada apa kau datang, Rat? “ tanyanya menyelidik.
“Nggak. Hanya ingin ketemu saja.” ucapnya tanpa ekspresi. sambil ingin mengetahui reaksi Rahman lebih lanjut.
“Lalu?”
“Ya, nggak ada apa apa!”
“Kau mestinya saat ini mulai menghindar dariku. Sebab kau tahu aku orang yang tak perlu perhatian.” kata Rahman. Pandangan matanya tetap tertuju pada halaman buku. Ada nada rendah diri atau tak acuh barangakali. Namun bisa juga perasaan ingin kepastian akan sikap Ratna setelah kejadian di Purwokerto. Dalam hatinya ia ingin tahu reaksi Ratna. Ratna hanya memandangnya. Ada guratan keputusasaan terasakan pada kata katanya.
“Kau sedang mengalami cobaan, Man.”
“Iya barangkali.”
“ Cobaan ini harus kau jalani. Bukan kau hindari.” Kehidupan akan jalan terus. Tanpa masalah atau ada masalah.”
“Itu pasti.”
“Lalu mengapa kau murung begini. Seolah olah kau putus asa. Selalu menghindariku jika kita ketemu.”
“Itulah. Karena sudah pasti ada masalah dengan sejarah hidupku.”
“Setiap orang punya masalah. Kau tak mungkin menjalani kehidupan ini tanpa kau mempunyai masalah.”
“Tapi masalahnya lain, Rat.”
“Itu pasti. Setiap orang akan menghadapi masalah yang kedar dan jenisnya berlainan. Masalah masalah inilah yang membuat dunia bertambah indah.” ujarnya. Sorot matanya diarahkan ke wajah Rahman. Sekilas Rahman membalas namun segera ditariknya.
“Kau bisa saja mengatakan demikian. Tapi kalau kau yang tertimpa masalah yang kuhadapi pasti akan lain jadinya.”
“Dalam hal ini aku katakan kau salah, Man.” Aku merasakan juga apa yang kamu rasakan. Kau lupa nampaknya bahwa kita telah sepakat untuk selalu berbagi duka dan gembira.” Ratna mengatakan kata kata itu dengan sungguh sungguh. Namun Rahman merasakannya sebagai kata kata hambar. Bahkan terasakan sebuah ejakan yang menghujam. Raut mukanya meredup.
“Maafkan, Man. Jika kata kataku ini malah membuatmu luka.” kata Ratna seolah tahu gejolak hatinya.
“Nggak apa apa.”
“Tapi aku serius, Man. Jujur dari hatiku.” kata Ratna penuh tekanan ekspresif. Hati Rahman berdesir. Seolah mengiyakan akan perkataannya. Titik titik kecurigaan Ratna akan ikut menghina dan menghukumnya mulai tersaput. Selama ini Rahman sudah mempersiapkan hal yang terburuk terjadi berkaitan dengan hubungannya dengan Ratna. Ia tidak ingin terluka untuk kedua kalinya. Namun kekhawatiran kekhawatiran selalu bergayut dalam setiap langkahnya.
“ Benar kau serius, Rat?” tatapan matanya mengarah wajah Ratna. Ratna merunduk. Ingin sekali Rahman memegang jemari Ratna. Ingin merasakan getaran kesungguhan kata katanya. Jemari lentik seolah menari bagai kupu kupu yang hinggap pada sekuntum mawar. Niat itu diurungkannya.
“Itulah, Mas. sehingga aku ingin ketemu, Mas.” Rahman mengakui kelakuannya selama ini yang selalu menghindar dengan siapa pun tak terkecuali dengan Ratna. Ada perasaan terhina jika bertemu teman, sahabat dan orang yang mengasihinya. Hari harinya dihabiskan dengan kuliah dan kuliah, kemudian tenggelam dengan buku buku. Hidup seolah telah mengakhiri semua aktivitasnya dalam organisasi.
“Persetan dengan organisasi.” umpatnya suatu kali.
“Itu, kan pilihanmu dulu.” batinnya.
“Pilihan yang telah menjerumuskan. Memporak porandakan kehidupan kini.”
“Kau harus bertanggung jawab atas pilihanmu itu. Hidup ini adalah memilih. Apa yang telah kupilih kau harus konsekuen. Jangan mengeluh. begitu.”
“Aku tak mengeluh. Hanya saja menyesalkan mengapa dalam organisasi yang berlabel Islam masih juga ada orang orang busuk. Menggunakan berbagai cara cara kotor untuk menjatuhkan orang. Menjegal orang. Demi kepentingan sendiri.”
“ Itu tak salah. Aku kira itu hanya pendapatmu saja. Orang toh sudah diberi kebebasan untuk memilih. Dan mereka telah memilih jalannya itu dengan menjatuhkanmu. Siapa tahu bukan kepentingan sendiri yang dibela. Namun kepentingan yang lebih luas. Kepentingan masa depan organisasi di masa datang agar tetap tak ternoda.”
“Kau saja yang salah memilih organisasi.”
“Aku kira tidak. Aku memilihnya ketika itu adalah pilihanku terbaik saat itu.”
“Ya saat itu. Sekarang salah pilihan itu. Jadi jangan disesali. Percuma saja.” Bertindaklah pragmatis.”
“Sikap pragmatis itulah yang tidak aku senangi. Dan bukan pilihan hidupku.”
“Itulah sok idealis. Kalau kau konsekuen akan selalu idealis, ya teruslah idealis. Jangan sekali kali mengisi akibat akibat dari idealisme itu.”
“Tidak .... hanya saja..?”
“He. Kuperingatkan kau sekarang. Kau boleh tetap idealis, tapi strategilah yang harus diubah. Kini kau harus mengubah haluan. Jangan berhenti ketika tersandung. Jika berhenti, cengeng kau. Ubahlah cara kerjamu kini. Idealis tetap tapi langkah berubah. Aku kira itu bukan dosa.”
“Mas Rahman!” ucap Ratna lembut menyadarkan lamunan Rahman,” Aku serius Mas.”
“Ya. Tapi amatlah disayangkan hidupmu Rat. Aku tak akan bisa memaafkan diriku jika kelak aku tak mampu membahagiakan dirimu, Rat.”
“Kau percaya itu?”
“ Itu suatu kepastian.”
“Maksudnya?” tanya Ratna mengernyitkan dahi.
“Ya. Itu. Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri jika pilihan Ratna terhadapku, aku setujui. Dan kelak aku tak bisa membahagiakanmu.” Itu akan merupakan penyesalan kedua kalinya yang takkan dapat terampuni. pada pilihanku kini.”
“Kau sudah yakin kau akan gagal dalam hal ini?” tanya Ratna. Rahman agak ragu ragu untuk menjawabnya. Bukan pada perkataan pasti itu, tapi pada suara hatinya yang tak mungkin bisa melepaskan getaran hatinya yang tak mungkin bisa melepaskan getaran hati yang selalu hadir jika Ratna didekatnya. Kekhawatiran akan ditinggalkan Ratnalah yang selalu menghantuinya. Jiwanya selalu bersandar. Dengan keteduhannya. Harapan- harapan selalu mendapat kehangatan dalam menyongsong masa masa yang telah lalu. Ketika itu Rahman benar benar ingin memeluknya, menciumnya sebagai jawaban bahwa dirinya tidak salah dalam memilih dirinya sebagai kekasih.
“Jika kau tahu, Rat. Inginnya aku memelukmu.” batinnya. Suasana perpustakaan sudah mulai sepi. Para mahasiswa meninggalkan perpustakaan. Walaupun gerimis turun lagi, mereka harus segera beranjak karena perpustakaan akan segera tutup. Rahman dan Ratna segera meninggalkan tempat duduknya.
Hujan rintik rintik pecah tertiup angin yang berhembus lembut. Kabut tipis membuat cahaya lampu lampu jalan temaram sinarnya. Ratna mengembangkan payungnya. Mereka menembus rintik hujan beriringan.
“Mas, belum menjawab pertanyaanku tadi.” kata Ratna mengingatkan pertanyaan yang belum sempat terjawab karena mereka bergegas pulang.
“Ketahuilah, Rat. Kata katamu membuat kepastian pada diriku.” ucap Rahman mantap. Getaran hatinya berdenyar denyar berjalan beriringan. Entahlah. Ratna merasakan hal sama atau tidak.
“Kepastian bahwa kau tak mampu.”
“Bukan itu, Rat.” katanya. Bahunya menyentuh lengan Ratna karena langkahnya menghindari kubangan air. Ada getaran halus merayapi tubuhnya. Suasana mencair.
“Lalu?”
“Sulit untuk mengatakannya, Rat.” sepeda motor melaju di sampingnya dengan pelan. Cewek yang membonceng memeluk erat pemuda yang mengendarai sepeda motor itu. Rahman memandangnya agak malu, jangan jangan Ratna memperhatikannya. Ada perasaan iri dihatinya yang semampu mungkin ia tekan. Jika saja ia seperti mereka tentunya Ratna akan demikian. Mungkinkah itu?
“Mengapa?”
“Benar katamu bahwa kehidupan ini akan jalan terus. Ada masalah atau tidak ada masalah. Itulah kepastian. Hanya saja masa depan itulah yang tidak pasti buatku kini.” Bisa saja, kan. Apabila ada pemuda yang lebih berprospek akan bisa secara mudah mengganti kedudukanku di hatimu.” kata Rahman memancing. Kata katanya diucapkan dengan penuh perasaan. Menginginkan kepastian seberapa jauh perhatian Ratna terhadap dirinya. Dia mengharap Ratna akan memberi kepastian di tengah tengah gelombang kehidupannya yang menyeret nyeret.
“Mengapa tidak?” katanya tanpa ekspresi. Nadanya jelas menggoda. Getaran hati Rahman bergoncang. Godaannya itu sudah cukup alasan untuk memberi cubitan pipinya, namun ia tak sanggup melakukannya. Langkah kaki mereka tak terasa telah mengantarkan ke depan pintu rumah kost Ratna.
“Rat!” ucap Rahman. Secara spontan tangannya memegang pergelangan tangan Ratna, Getaran halus segera saja merayapi tubuhnya. Debar jantungnya berkejaran. Langkah Ratna terhenti. Ratna tak kuasa memberontak. Namun buru buru Rahman melepaskannya.
“Maaf kan aku, Rat. Atas kehilafanku barusan.” Ratna terdiam. Tak kuasa untuk menyalahkan sekaligus juga membenarkan tindakan Rahman. Jantungnya senyatanya juga bergetar tak kalah hebatnya. Ia tak kuasa membalas tatapan Rahman yang seolah menghujam ke dalam hatinya yang terdalam.
“Sudahlah, Mas. Nggak apa apa kok!”
“Tapi sebelumnya aku ucapkan terima kasih, Rat. Kau sungguh sangat berarti dalam kehidupanku.” ucap Rahman sedikit bergetar. Ratna diam saja, “Ratna akan selalu tetap bersama, kan?” lanjutnya sentimentil. seperti anak SMU Ratna mengangguk penuih arti.
“Itulah kepastian yang kuinginkan, Rat!” batinnya. Ratna membuka pintu dan masuk. tanpa menoleh kepadanya. Bunyi krek dua kali terdengar namun tak ada suara melangkah. Dalam hati Rahman berharap Ratna menengok ketika memasuki pintu. Atau barangkali akan membuka kain korden untuk sedikit melambaikan tangan. Tapi itu hanya ada dalam pengharapannya. Padahal ia berdiri cukup lama terpaku di depan pintu. Namun aku yakin Ratna masih berdiri di balik pintu, hiburnya. Secercah harapan menyirami benih benih semangatnya yang beberapa minggu ini mulai layu. Ratna Ratna, ucap batinnya. Langkahnya mantap menembus gerimis malam.
*****
Hari masih pagi ketika gerombolan Rahman tiba di rumah Ratna.Tiga jam lebih perjalanan Yogya - Purwokerto sedikit membuat mereka lelah. Sinar matahari bersinar cukup cerah. Nampak gunung Slamet tegar menggapai langit. Kabut kabut tipis putih bergerak berlahan menyiratkan kelembutan alami, menyingkap punggung punggung bukit dan ngarai yang biru.
Rumah orang tua Ratna berada di pinggiran kota menghadap ke arah selatan. Tak ada kesan kemewahan dari rumahnya yang kokoh bersama beberapa bangunan lain di sekitarnya. Pada jalan dan pintu masuk menuju rumah yang kira kira berjarak lima puluh meter dari jalan terdapat semacam gardu ronda. Sebuah kentongan tak bercat tergantung di teras.
Dari balik pagar besi bermotif beton pulir warna hijau tua dan besi yang melengkung diatasnya setinggi setengah meter, terlihat jelas apa yang ada di pelataran depan. Rumah berkeramik dengan cat tembok warna hijau. Di samping rumah sebelah timur terdapat pohon rambutan yang rimbun. Di bawahnya terdapat satu kursi kayu lengkap dengan payungnya warna coklat dengan lantai paving block.
Di sebelah selatan rumah berdiri sebuah mesjid yang cukup besar berdiri kokoh dengan cat putih dan kusen jendela serta pintu berwarna hijau seperti juga rumah tinggalnya. Lantainya berkarpet hijau dengan langit langit putih. Tembok tembok dalamnya dihiasi tulisan kaligrafi dengan tulisan warna putih dengan dasar warna hijau.
Mesjid yang cukup besar itu terbagi dalam dua bagian. Bagian dalam merupakan ruang utama, dengan empat tiang penyangga kubah. Hawanya sejuk karena udara bebas keluar masuk melalui jendela jendela tinggi dan besar bergaya seperti rumah rumah Belanda. Selain itu langit langitnya tidak datar, tetapi mengikuti rangkapan kayu yang menyangga atap. Sehinga selain menyebabkan udara tetap sejuk juga memberi kesan lega dan leluasa.
Sementara itu bagian depan yang dibatasi pintu pintu dan jendela jendela yang lebar dan tinggi menghampar lantai yang luas. Disinalah biasanya anak anak dan para remaja belajar mengaji dan diskusi segala persoalan. Papan papan tulis menempel di dinding masih tersisa tulisan tulisan hijaiyah. Nampaknya memang ruang ini dikhususkan untuk pengkajian soal soal agama dan umum selain juga digunakan untuk pertemuan warga, sedangkan ruang dalam digunakan khusus untuk shalat dan dzikir.
Seperti hari ini, warga masyarakat sekitar sedang berkumpul di ruang depan mesjid. Tokoh agama, tokoh pemerintahan, dan tokoh masyarakat berbaur dengan masyarakat umum. Sebagian dari mereka ada yang duduk di kursi di bawah tenda di depan mesjid. Mereka berkumpul dengan berpeci hitam, ada juga yang berpeci haji.
Sementara itu kaum ibu memakai kain kebaya dengan kerudung dan para gadis memakai jilbab. Anak anak berlarian kesana kemari dengan riang gembira.
Hari itu merupakan hari diadakan upacara keberangkatan haji keluarga Muhamad Adnan, ayah Ratna. Mereka akan melakukan rukun Islam kelima sekeluarga. Sehingga diadakan upacara keberangkatan yang cukup meriah. Mereka akan berangkat ke tempat pemberangkatan di embarkasi Jakarta keesokan harinya.
“Gimana di jalan. Aman aman saja khan?” Sambut Ratna kepada rombongan Rahman. Ratna yang berpakaian jilbab biru dengan kerudung bermotif bunga bunga melati begitu anggun dan cantiknya.
“Alhamdulillah tak kurang suatu apa.” jawab Rahman mewakili teman temannya. Tingkahnya agak formal dengan sedikit menjaga jarak. Setelah mereka menyalami bapak dan ibu Ratna, mereka mengambil tempat duduk yang ditunjukan Ratna. Ratna bicara bicara sedikit dengan mereka kemudian minta pamit untuk segera menyambut tamu tamu yang lain.
Rahman sudah beberapa kali datang ke tempat Ratna. Namun kedatangannya kali ini ada perasaan lain. Barangkali karena perasaannya masih dilanda kegoncangan peristiwa konggres beberapa bulan yang lalu di kota ini. Peristiwa yang tak kan dapat dilupakannya sepanjang hidupnya. Waktu itu ia sudah tak ada harapan lagi akan terus bisa mencintai Ratna. Ada jurang yang begitu jauh antara dirinya dengan Ratna. Apalagi bila dibandingkan dengan keberadaan keluarga Ratna. Ia putri seorang tokoh agama yang disegani di kotanya, sedang dirinya dan keluarganya merupakan kebalikannya. Bukan suatu perbedaan saja melainkan bahkan bertentangan yang amat tajam dalam lintasan sejarah kemasyarakatan negeri ini. Bisakah ini semua bisa disatukan dengan cinta? Membayangkan ini Rahman merasa takut.
Sebetulnya setelah peristiwa konggres Purwokerto itu Rahman sudah berusaha dengan menekan rasa sakit yang luar biasa dalam hatinya untuk menghindari Ratna. Namun tarikan cintanya tak mungkin dikalahkan oleh kekuatan bencinya terhadap diri sendiri dan riwayat keluarganya di masa lalu. Mungkinkah keluarga Ratna sudah mengetahui keberadaan dirinya, dan keluarganya. Dalam hal ini, ia sama sekali buta. Pernah terlintas dalam pikirannya itu tak pernah kesampaian.
Secara diam diam ia sebetulnya sudah menyediakan diri untuk menghadapi keadaan yang terburuk. Seandainya orang tua Ratna mengetahui dan memutuskan untuk memisahkan dirinya dengan Ratna, ia telah rela. Ia tahu keberadaan dan kemungkinan kemungkinan terburuk yang dihadapi oleh keluarga dan masyarakat yang selalu menghormatinya sebagai tokoh panutan. di kotanya. Apalah jadinya jika ia memaksakan dirinya terhadap hal yang justru akan menjatuhkan martabat keluarga orang yang dicintainya.
Rahman berusaha membuang pikiran yang berkecamuk dalam dirinya. Aku tak pantas memikirkan ini semuanya disini, ditengah tengah orang orang menyambut kepergiannya dengan gembira dalam melaksanakan salah satu kewajiban orang yang beragama secara taat, katanya dalam hati.
Sementara itu orang orang terus berdatangan mengisi tempat tempat yang tersisa. Beberapa saat kemudian acara dimulai, diawali pembacaan kalam illahi setelah doa pembukaan, selanjutnya sambutan sambutan dan diteruskan ceramah inti yang berisi uraian tentang haji. Hadirin memperhatikan dengan penuh seksama dengan bisikan dalam hati kapan dirinya bisa mengikuti jejak langkah tuan rumah ke tanah suci. Sesekali dengan permohonan dan diselilingi perkataan semoga Allah mengabulkannya seketika penceramah memberikan harapan untuk para hadirin.
Ketika acara sedang berlangsung Ratna dan adiknya serta bapak ibunya duduk menghadap para hadirin. Perasaan bersyukur menyemburat di wajah wajah mereka atas karunia yang telah diberikan oleh Allah Swt. Rahman memandang Ratna dengan perasaan kagum dan perasaan sangsi apakah cintanya benar benar sudah pada tempatnya. Tidakkah cintanya akan merupakan suatu awal bencana pada dirinya. Kekhawatiran itu selalu ditingkah perasaan cintanya yang mendalam. Sesekali Ratna menyembunyikan wajahnya melihat pandangan Rahman. Getaran yang halus merambati seluruh tubuhnya.
Acara terakhir berupa makan siang usai sesaat sebelum adzan lohor. Para tamu mengambil air wudlu untuk shalat berjamaah, setelah memberi ucapan selamat kepada tuan rumah.
Sehabis shalat dzuhur tamu tamu sebagian pulang, sebagian yang lain khususnya keluarga dekat tuan rumah dan sahabat membentuk lingkaran lingkaran kecil. Di ruang depan mesjid mereka ramai membicarakan kabar dan mengungkapkan kegembiraan serta rasa syukur, selain juga kisah kisah masa lalu yang pernah mereka alami bersama.
“Gimana rasanya mau berangkat haji, Rat?” tanya Edi. Pertanyaan itu cukup menyedot perhatian rombongan Rahman.
“Sulit untuk mengtakannya, Ed. Tapi intinya saya bersyukur atas karunia ini,” jawabnya dengan nada lembut.
“Jangan lupa Rat kami yang belum bisa berangkat kamu doakan di sana!” pinta Widya.
“Betul itu, Rat. Apalagi disana, dimana itu yang katanya tempat yang lebih makbul untuk berdoa?” sambung Edi dengan pertanyaan di akhir katanya. Mereka tersenyum mendengarnya.
Saya kira doa dimana saja bisa makbul. Tergantung si pemohon doa itu saya kira.” kata Karlan seolah olah ingin meluruskan anggapan masyarakat.” Begitu kan, Rat?” sambungnya.
“Memang sih ada anggapan atau tepatnya kepercayaan dalam masyarakat kita bahwa doa yang makbul itu doa yang diucapkan di Mesjid Nabawi saja. Ada juga yang percaya di depan Ka’bah.”ujar Ratna tanpa menggurui.
“Saya kira itu baik,” tak ada salahnya kan kita minta di doakan disana?” kata Edi seolah membenarkan perkataan sendiri.
“Insya Allah saya akan doakan semua teman teman disana,” kata Ratna.
“Ada permintaaku yang khusus, Rat.” seru Edi.
“Apa itu, Edi?” tanya Rahman angkat bicara setelah dari tadi hanya memperhatikan teman temannya bicara.
“Ini serius, kawan.” katanya dengan mimik tak kalah seriusnya. ditengah tengahsenyum teman temannya.” cepat lulus dan mendapat jodoh yang cukup!” serunya. disambut tawa teman temannya.
“Kok jodoh yang cukup!. Bukan jodoh yang cantik misalnya.” ledek Karlan.
“Tentu, dong. Gimana sih ente ini.”
“Maksudnya?”
“Ya jodoh yang cukup cantik, cukup kaya ...”
“Cukup empat!” potong Karlan. yang segera disusul gerr.
“Enggak itu,” balasnya.
“Lalu?”
“Ya cukup satu saja,” katanya sambil melirik Widya,” Iya kan Wid?” Widya gelagapan. tak menyangka pertanyaan seperti itu.
“Teman teman minta di doakan disana, tak salah kan aku juga minta doa teman teman?” kata Ratna seperti merajuk setelah teman temannya berhenti tertawanya.
“Insya Allah. Saya akan mendoakan semoga selamat dalam perjalanan baik berangkat maupun pulangnya. Tak menemui kesulitan di sana. Dan tentunya Ratna sekeluarga menjadi haji mabrur.” ujar Edi yang kemudian disambut perkataan amien. dari teman temannya.
Percakapan mereka terus berlangsung hingga memasuki shalat ashar. Setelah shalat ashar mereka meminta diri untuk kembali ke Yogya. Mereka menyalami keluarga Ratna dengan ucapan selamat sekaligus doa agar dalam menunaikan ibadah haji mereka tak menemui rintangan sedikitpun juga. dan menjadi haji mabrur. Ada keharuan yang melanda Rahman ketika menyalami Ratna. Tangan terasa dingin seolah menggambarkan akan pergi untuk selama lamanya. Perasaan itu ditepisnya jauh jauh. Namun di dalam bus yang membawanya ke Yogya keharuan itu terus saja melanda. Seakan akan menegaskan bahwa pertemuan itu adalah pertemuan yang terakhir. Bahkan sampai ia tiba di rumahnya. Perasaan itu masih menggayutinya.

*****



KEEMPATBELAS

Malam semakin renta. Suara serangga malam semakin redup. Barangkali kelelahan. Jangkrik jangkrik yang tadi sore berdendang dengan riangnya, kini melantunkan irama perpisahan. Hanya burung hantu yang suaranya masih terdengar nyaring. Tapi lagu yang dilantunkannya terasa sendu. Bagai menyuarakan kepedihan seorang gadis yang menunggu kekasihnya yang takkan pernah kembali.
Gerimis turun perlahan. Angin bertiup bagai alunan simponi Mozart, menelusup melewati jendela kamar. Dibiarkannya angin lembut masuk dan mempermainkan helai helai rambutnya. Di malam yang larut ini Rahman masih terjaga. Dibukanya halaman demi halaman buku hariannya. Di sanalah tersimpan segala curahan hati dan pikiran di hari hari yang pernah disusuri. nnampak tak berarti, namun mengguratkan janji janji yang penuh harapan di masa datang.
Begitu banyak yang telah dilaluinya dalam lintasan waktu. Ia merasa bagaikan sebutir debu pasir yang terhempas dari perjalanan panjang dibawa gelombang zaman. Menjelma jadi debu yang terbang meliuk liuk di sela pepohonan. Peristiwa dalam hari hari kehidupannya bagai relief relief yang penuh nuansa. Kegetiran demi kegetiran dan kegembiraan demi kegembiraan silih berebut tempat dan bersemayam dalam jiwa.
Aku yang dilahirkan dalam keadaan tak tahu. Dalam keadaan bersih bagaikan kertas putih. Tiba tiba terenggut oleh kerasnya bebatuan tajam yang menindih. Debu debu kehidupan menempel dan saling mendekap. Menempel, mencoreng dan membenamkan dalam lumpur.
“Aku bangga dan kagum denganmu, Rat.”gemerisik suara batinnya.” Walaupun kau tahu aku telah jadi kertas dengan berbagai coretan tinta merah. Korban gegap gempitanya gejolak politik negeri ini mencari jati diri. Dipenuhi debu kotoran kuda dan lembu penarik pedati. Tapi kau tetap setia.”
“Rat, aku ingin selalu bersamamu. Kurasakan ada kedamaian luar biasa bila aku berdekatan denganmu. Entahlah. Aku tak tahu hal itu kau rasakan atau tidak. Sejak kapan akan berakhir? Aku tak tahu.” tulis Rahman pada salah satu lembar buku hariannya setahun lalu. Rahman berhenti pada kalimat itu. Dirasakannya kembali betapa dinginnya Ratna menyambut perasaannya waktu itu. Bagai Samudra luas yang tak pernah peduli dengan nelayan tua dengan sampannya. Padahal nelayan tua itu terombang ambing kebingungan kehilangan arah. Sisa sisa tenaga untuk mendayung tinggal untuk menarik nafas. Angin bertiup dan gelombang tak memperdulikannya. Dan gelombang membanting banting perahunya.
“Tidakkah kau bersedia untuk sebentar saja membiarkan nelayan tua itu lewat dihadapanmu? Dan kemudian, kau beri dia senyuman saja!”
Dibukanya lembar buku hariannya berikutnya. Nampak coret coret tak jelas. Namun jelas menggambarkan benang kusut yang tergores dengan amat tajamnya.
Pada halaman halaman berikutny, terbaca: “Rat, kau masih saja tetap angkuh. Kau membuang muka ketika aku mendekatimu. Aku jenggah. Akhirnya kuputuskan untuk tidak akan pernah melihatmu lagi. Kapanpun juga.”
Rahman tersenyum geli mengingatnya. Tingkah yang kekanak kanakan. Sebab beberapa hari kemudian ternyata ia tak berdaya melakukan keputusannya. Dia bagaikan musafir yang kehilangan bekal. Akhirnya, dia mendekati Ratna lagi. Hanya untuk sekedar menyapa. Walaupun Ratna tetap membisu.
“Kau memang angkuh. Tapi aku tak bisa benar benar membencimu, Rat.” tulisnya diakhir halaman tersebut.
Malam bertambah larut. Awan tersibak dan nampak bintang bintang berkedipan. Sepotong rembulan muncul agak kemalu maluan di ufuk timur. Tiba tiba bau semerbak memasuki kamarnya.Rahman merinding. Nampak sesuatu bercahaya warna putih kemerahan disamping kanan bawah jendela kamarnya. Setangkai kembang wijayakusuma merekah dengan indahnya, sambil menyebarkan aroma harum.
Getar getar merinding berubah mengalirkan butir butir kehangatan merayapi tubuhnya. Rahman bagai dilambungkan ke alam para bidadari. Keheningan menyaput malam. Sayup sayup terdengar kembali simponi alam yang begitu mengahanyutkan.
Dibenaknya nampak bayangan Ratna sedang berjingkrak mengais ngais tanah di samping kanan jendela kamarnya dua tahun silam. Ia mencoba menanam bunga wijaya kusuma itu. Tangannya belepotan tanah, tanpa ekspresi. Rahman pun mengangguk tanpa suatu perasaan apapun. Tapi Ratna tampak tersenyum untuk menyatakan terima kasih. Senyum yang paling manis, dari senyum yang termanis. Ratna pergi untuk selama lamanya menjadi syahidah. Terowongan Haratul Lisan telah membukakan pintu baginya dan para bidadari menyambut dengan tebaran semerbak wangi senyumnya.
Rahman tercekat mengingat kenangan bersamanya. Cinta yang tulus telah ditebarkan. Cinta yang tak terpolusi oleh segala isme yang ada, Dipandanginya kembali kembang wijaya kusuma yang sedang mekar merekah. Bau yang menyebar, dihirupnya dengan penuh keharuan.
“Aku akan terus selalu merawat wijaya kusuma kita, Rat. Doa akan selalu kupanjatkan buatmu. semoga damai dalam sorga-Nya.” Amien.

** Tamat **


TUNAS PATAH

IDENTITAS NASKAH
1. Judul Naskah : TUNAS PATAH
2. Kelompok Naskah : Fiksi
3. Jenis Naskah : Novel
4. Jenjang Pendidikan : SMA/MA
5. Tema Penulisan : Peningkatan Iman, Takwa, dan Akhlak Mulia, serta Kualitas Jasman

IDENTITAS PENULIS

Nama : Tongato
Nomor KTP : 32.77.01.1007/1133/3218090
NIP : 132 014 429
Pekerjaan : Guru Bahasa Indonesia
Alamat :
* Rumah : Perum Pesona Laguna B1/ 7
Cilangkap, Cimanggis, Depok
Telp : (021) 87921792
Hp : 081311472150
* Kantor : SMA PKP
Jl. Raya PKP, Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur
Telp (021) 8720627



SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Tongato
NIP : 132 014 429
Pekerjaan : Guru Bahasa Indonesia
Alamat : SMA PKP
Jl. Raya PKP, Kelapa Dua Wetan, Ciracas,
Jakarta Timur
Telp (021) 8720627
Menyatakan bahwa Naskah Novel : TUNAS PATAH merupakan hasil karya sendiri.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dalam keadaan sehat dan tanpa paksaan siapapun juga.


Jakarta, 5 Mei 2008
Yang Menyatakan,


Tongato